Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah melanjutkan pelemahannya pada penutupan perdagangan Rabu (22/5/2019), terdepresiasi selama 3 hari berturut-turut seiring dengan kondisi politik dalam negeri yang cenderung kurang kondusif.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Rabu (22/5/2019), rupiah ditutup di level Rp14.525 per dolar AS, terdepresiasi 45 poin atau 0,31% melawan dolar AS.
Analis PT Monex Investindo Futures Ahmad Yudiawan mengatakan bahwa kondisi politik dalam negeri yang kurang kondusif semakin membuat rupiah melemah di tengah tertekannya pasar mata uang emerging market dalam beberapa perdagangan terakhir akibat eskalasi perang dagang AS dan China.
"Jadi rupiah mengalami tekanan baik dari eksternal maupun internalnya sehingga ditutup melemah kembali," ujar Yudi saat dihubungi Bisnis.com, Rabu (22/5/2019).
Yudi memproyeksi rupiah masih akan diperdagangkan melemah di level Rp14.300 per dolar AS hingga Rp14.700 per dolar AS pada perdagangan Kamis (23/5/2019)
Adapun, katalis negatif dalam negeri disebabkan oleh kisruh hasil pemilu 2019 yang berujung aksi unjuk rasa di kantor Bawaslu.
Baca Juga
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merampungkan proses rekapitulasi tingkat nasional pada Selasa (21/5/2019). Hasilnya, pasangan calon presiden Jokowi-Amin unggul 85.607.362 suara atau 55,50% dari Prabowo-Sandi 68.650.239 atau 44,50%.
Namun, Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon presiden Prabowo-Sandi menolak hasil rekapitulasi pilpres 2019 dan akan menggugat hasil tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa akibat sentimen tersebut membuat pelaku pasar condong untuk meninggalkan pasar Indonesia karena meningkatnya ketidakpastian pasar sehingga rupiah terus terdepresiasi.
"Saat ini rupiah sudah di level Rp14.500an per dolar AS, artinya untuk mencapai Rp15.000 per dolar AS sangat gampang kalau kondisi dalam negeri tidak kondusif," ujar Ibrahim kepada Bisnis.com, Selasa (22/5/2019).
Sementara itu, Bank Indonesia menegaskan faktor kondisi politik di dalam negeri tidak menjadi faktor dominan yang mempengaruhi pelemahan rupiah.
Kepala Departmen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah mengungkapkan, tekanan rupiah sejauh ini disebabkan oleh genuine demand atau permintaan domestik akan dolar AS untuk kepentingan impor, repatriasi, dan dividen.
"Kami mengupayakan berada di pasar," tegas Nanang.