Bisnis.com, JAKARTA – Harga batu bara Newcastle terus tertekan di zona merah bahkan berakhir anjlok lebih dari 3% pada perdagangan Rabu (3/4/2019).
Berdasarkan data Bloomberg, harga batu bara di bursa ICE Newcastle untuk kontrak teraktif Juni 2019 ditutup anjlok 3,38% atau 2,80 poin di level US$80,00 per metrik ton, pelemahan hari keenam beruntun.
Pada perdagangan Selasa (2/4/2019), harga batu bara Newcastle kontrak Juni berakhir melemah 1,13% atau 0,95 poin di level US$82,80 per metrik ton.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan ada kecenderungan permintaan batu bara global akan berkurang dalam jangka panjang.
Fabby memaparkan berdasarkan proyeksi International Energy Agency (IEA), permintaan batu bara untuk PLTU di China akan mencapai puncaknya pada 2020, tetapi bisa turun hingga 9% pada 2030.
Di India, meskipun kebutuhan batu bara masih naik, volume impornya akan turun ke level 13,4% dari total konsumsi pada 2022-2023. Permintaan batu bara Jepang dan Korea Selatan pun diperkirakan turun 3% pada 2023 dibandingkan dengan volume pada 2017
“Walaupun batu bara masih cukup dominan dan dipakai di 78 negara di dunia serta menghasilkan 40% dari seluruh listrik dunia, sejumlah negara telah menerapkan kebijakan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan PLTU batu bara," ujarnya, seperti diberitakan Bisnis.com.
Di bursa ICE Rotterdam, harga batu bara untuk kontrak teraktif Juli 2019 juga terus tertekan dan berakhir anjlok 2,42% atau 1,50 poin di posisi 60,55 pada perdagangan Rabu (3/4), melemah selama enam hari perdagangan berturut-turut.
Kendati demikian, harga batu bara thermal untuk pengiriman Mei 2019 di Zhengzhou Commodity Exchange, mampu berakhir menguat 0,76% atau 4,6 poin di level 610,8 yuan per metrik ton pada perdagangan kemarin.
“Meningkatnya pengawasan tambang-tambang akan menutup potensi penurunan harga bahkan ketika ada lebih banyak pasokan yang tersedia,” terang analis Everbright Futures Zhang Xiaojin dalam risetnya, seperti dikutip Bloomberg.
Sementara itu, harga minyak mentah tergelincir dari penguatannya dan berakhir di zona merah pada perdagangan Rabu (3/4/2019), menyusul laporan yang menunjukkan pasokan minyak mentah AS membukukan kenaikan terbesar sejak Januari dan produksi mencapai rekor tertinggi.
Harga minyak West Texas Intermediate untuk pengiriman Mei 2019 melemah 0,12 poin ke level US$62,46 per barel di New York Mercantile Exchange.
Adapun minyak Brent untuk kontrak Juni tergelincir 0,1% atau 0,06 poin ke level US$69,31 di ICE Futures Europe exchange, setelah sebelumnya bergerak menguat hingga US$69,96.
Dilansir Bloomberg, minyak mentah menguat setelah mendekati titik tertinggi dalam lima bulan menyusul laporan Energy Information Administration (EIA) yang memperbarui kekhawatiran mengenai kelebihan pasokan global.
EIA menyatakan stok minyak mentah meningkat 7,24 juta barel pekan lalu, melampaui estimasi analis dan industri.
Meskipun data tersebut tertahan oleh keterlambatan pengiriman di Houston pekan lalu, namun tetap menghapus kenaikan harga pada hari sebelumnya yang didorong laporan data ekonomi dari Eropa dan Asia, bersama dengan progres perundingan perdagangan AS-China.
"Di permukaan, angka-angka terlihat bearish dengan adanya kenaikan cadangan minyak minyak mentah yang besar," kata Andrew Lebow, mitra senior di New York Consultant Commodity Research Group, seperti dikutip Bloomberg.
EIA juga melaporkan rekor yang dicapai produksi AS sebesar 12,2 juta barel per hari pekan lalu. Di sisi lain, pasokan bensin dan minyak distilasi turun lebih dari yang diperkirakan, sehingga mengurangi sedikit kekhawatiran tentang permintaan.
Pergerakan harga batu bara kontrak Juni 2019 di bursa Newcastle
Tanggal | US$/MT |
3 April | 80,00 (-3,38%) |
2 April | 82,80 (-1,13%) |
1 April | 83,75 (-1,35%) |
Sumber: Bloomberg