Bisnis.com, JAKARTA -- Pound sterling menjadi satu-satunya mata uang yang tidak memanfaatkan momentum pelemahan dolar AS sepanjang perdagangan pekan lalu, dipacu sentimen ketidakpastian Brexit yang masih berlanjut.
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang negara Ratu Elizabeth itu melemah 1,4% terhadap dolar AS selama sepekan terakhir. Padahal, pada periode yang sama, dolar AS menunjukkan kinerja yang tidak cukup baik akibat sentimen sikap The Fed yang dovish terhadap kenaikan suku bunga AS dan prospek ekonomi dalam negeri.
Bahkan, meroketnya data penjualan stok rumah yang tersedia di pasar AS pada Februari 2019 sebesar 11,8%, tidak mampu memberikan kekuatan dolar AS untuk menguat cukup baik.
Sebagai informasi, AS berhasil mencatat penjualan rumah sebanyak 5,51 juta unit pada Februari 2019. Angka itu menjadi penebus penurunan pada bulan sebelumnya, yang hanya mampu menjual 4,93 juta.
Adapun indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan mata uang mayor lainnya menguat tipis 0,16% menjadi 96,651.
Sementara itu, mata uang lainnya, seperti yen menguat 0,8% sepanjang pekan melawan dolar AS, dolar Australia menguat 0,6%, Euro menguat 0,5%, dan rupiah menguat 0,67%.
Walaupun demikian, pound sterling berhasil menutup pekan lalu di zona hijau seiring dengan euro yang melemah akibat persetujuan Uni Eropa (UE) untuk memperpanjang batas waktu Brexit.
Berdasarkan data Bloomberg, pound sterling berhasil menguat 0,78% melawan dolar AS di level US$1,3209 per pound sterling pada perdagangan Jumat (22/3/2019). Sementara itu, euro ditutup melemah 0,63% menjadi US$1,1302 per euro.
Ahli Strategi Nomura FX Jordan Rochester mengatakan penguatan pound sterling sebagian besar didukung oleh melemahnya mata uang tunggal euro setelah rilisnya data mengecewakan dari Jerman. Selain itu, euro juga melemah karena para pemimpin UE menyetujui perpanjangan tenggat waktu Brexit selama dua pekan, sebagai kesempatan terakhir bagi Inggris untuk mengamankan Brexit dengan kesepakatan.
"Komisi Eropa telah menurunkan risiko hard Brexit hingga pekan depan, tetapi Brexit tanpa kesepakatan masih dapat terjadi jika [Perdana Menteri Inggris] Theresa May menginginkannya, baik pada pekan depan atau batas waktu baru pada 12 April [2019]," ujarnya seperti dilansir dari Reuters, Minggu (24/3).
Ketidakpastian tersebut membuat pound sterling semakin membawa dirinya ke pergerakan yang sangat berisiko dan tidak menentu.
Pasar derivatif mata uang mengisyaratkan meningkatnya level kehati-hatian untuk pound sterling, dengan pembalikan risiko satu bulan pada pound sterling versus euro dan dolar jatuh ke level tertingginya dalam beberapa bulan.
Indikator pandangan investor terkait prospek bearish atau bullish pada mata uang atau yang disebut pembalikan risiko (risk reversal) menandakan bahwa taruhan negatif jangka pendek pada pound sterling menumpuk dengan cepat, meskipun ada ketenangan yang lebih luas di pasar spot.
Mengutip data Refinitiv, pembalikan risiko satu bulan pada pound sterling versus euro jatuh ke level terendah sejak pertengahan 2017. Sementara itu, terhadap dolar AS, taruhan bearish tumbuh ke level tertinggi sejak September 2017.
Hal tersebut juga disebabkan pesimistisnya banyak analis terkait dengan soft Brexit, seperti Goldman Sachs yang telah merevisi kemungkinan no-deal Brexit dari 5% menjadi 15%, sedangkan beberapa ahli strategi melihatnya mampu mencapai 50%.
Pound Sterling, Mata Uang Terlemah Saat Lainnya Kuat Melawan Dolar AS
Brexit menjadi faktor yang membuat pound sterling tak mampu memanfaatkan momentum pelemahan dolar AS sepanjang pekan lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Finna U. Ulfah
Editor : Annisa Margrit
Topik
Konten Premium