Bisnis.com, JAKARTA -- Lima tema besar akan membayangi persepsi investor di pasar keuangan global pekan depan.
Berikut ini lima tema besar yang dirangkum Reuters:
1. Pesimisme Berkembang
Wall Street dan imbal hasil surat utang Amerika Serikat (US Treasury) tergelincir setelah indeks manufaktur the Institute for Supply Management’s (ISM) jatuh ke titik terendah sejak krisis keuangan 2008 dan investor saat ini bertaruh the Fed akan memangkas suku bunga tahun ini ketimbang menaikkannya.
Namun, manufaktur bukanlah faktor yang memberati ekonomi AS seperti dahulu. Jasa sekarang berkontribusi sekitar 80% terhadapi aktivitas ekonomi.
Investor akan mencermatinya pada Senin (7/1/2019) untuk melihat apakah sektor kunci itu menjadi pelipur lara atau malah kian melukai. Indeks jasa diprediksi menukik ke posisi 59,7 dari 60,7 pada November, tetapi berisiko bergerak lebih ke bawah seperti indeks manufaktur.
2. Kejatuhan Cepat
Dengan perang dagang China-AS yang telah menggerus pertumbuhan global dan mengetatkan likuiditas di seluruh dunia, 2019 akan menjadi tahun-tahun penuh tekanan.
Tak seorang pun berharap itu dimulai dengan kejatuhan pasar uang yang mendorong dolar di bawah US$105 per yen. Pergerakan dikaitkan dengan aksi jual otomatis di pasar yang tipis, tetapi akan berbalik arah jika investor melihat tak ada justifikasi fundamental atas pergerakan itu.
Survei atas kondisi manufaktur yang buruk di Asia, Eropa, dan AS, serta peringatan penjualan Apple mungkin menjadi jalan panjang untuk menjelaskan pergerakan.
Penguatan yen dan problem domestik yang masif merupakan bendera merah bagi pasar global. Kondisi itu melukai ekspor Jepang.
Bank of Japan (BOJ), bank sentral Jepang, yang baru bulan lalu menormalisasi kebijakan mungkin melihat itu sebagai risiko terhadap upaya berdekade-dekade mereka menciptakan inflasi.
Memang, pada hari pertamanya kembali bekerja, Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda menyuarakan komentar Gubernur European Central Bank (ECB) Mario Draghi 'whatever it takes' dan diplomat keuangan Masatsugu Asakawa mengingatkan para traders di pasar uang akan koordinasi intervensi di lingkup G7 dan G20.
Pengingat yang lain mungkin akan kian keras pada beberapa hari dan minggu ke depan.
3. Kembali ke Sekolah, Aturan 5 Hari
Tak ada yang membantah bahwa bagi pasar global, ini adalah permulaan yang berbatu-batu untuk mengawali tahun.
Seberapa berbatu perjalanan 2019 di depan akan dicermati investor a.l. dengan berpedoman pada kata kunci yang dinamakan S&P Five-Day Rule.
Aturan yang kerap disebut-sebut eks petinggi Goldman Jim O’Neill kurang lebih: aketika S&P 500 naik pada lima hari pertama, maka pasar akan bergerak positif sepanjang tahun.
S&P 500 biasanya naik. Selama 91 tahun terakhir, indeks naik pada 62 di antaranya dan jatuh pada 29 tahun sisanya. Saat tulisan ini dibuat, hanya dua hari perdagangan 2019 indeks turun 2,35%.
4. Kerusakan Chip
Ini pekan yang busuk bagi Appke setelah bosnya, Tim Cook mengingatkan perlambatan ekonomi China telah membuat perusahaan lengah, dan ketegangan perdagangan antara Washington dan Beijing mulai menekan belanja konsumen pada ponsel pintar di China yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Saham Apple jatuh 10% pada Kamis, kejatuhan luar biasa bagi salah satu saham paling berharga dan likuid dunia, yang menciptakan hari terburuk bagi indeks S&P Technology sejak Agustus 2011.
Indikasi awal akan semakin terang pada musim-musim berikutnya. Proyeksi analis cukup suram: pertumbuhan saham-saham perusahaan teknologi 12 bulan ke depan hanya 5,6%, paling rendah sejak April 2009.
5. Akankah, Tidak Akankah Mereka?
Awal tahun adalah masa yang sibuk bagi penerbit surat utang negara, terutama bagi negara berkembang.
Utang negara berkembang stabil naik dalam beberapa tahun terakhir, dan jatuh tempo kian dekat: US$4 triliun utang negara berkembang jatuh tempo akhir 2020, yang sekitar sepertiganya berdenominasi valas, menurut Institute of International Finance.
Namun, mungkin berbeda tahun ini. Kekhawatiran akan pertumbuhan dunia kian dalam dan mengirim getaran ke seluruh pasar global, meredam minat investor terhadap aset berisiko dan menyulitkan negara berkembang menarik utang.