Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kinerja Emitan Konglomerasi: Grup Astra Paling Kinclong

Grup Astra menjadi konglomerasi yang mencatatkan kinerja yang meyakinkan seiring dengan pencapaian emiten-emiten anak usahanya mengilap selama semester I/2018. Sementara itu, grup konglomerasi lain masih menanti momentum untuk kembali bangkit.
Laba Bersih Emiten Konglomerasi Semester I/2018 (Rp miliar)./Bisnis- Radityo Eko
Laba Bersih Emiten Konglomerasi Semester I/2018 (Rp miliar)./Bisnis- Radityo Eko

Bisnis.com, JAKARTA — Grup Astra menjadi konglomerasi yang mencatatkan kinerja yang meyakinkan seiring dengan pencapaian emiten-emiten anak usahanya mengilap selama semester I/2018. Sementara itu, grup konglomerasi lain masih menanti momentum untuk kembali bangkit.

Kinerje emiten konglomerasi  semester I/2018 menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Senin (6/8/2018). Berikut laporannya.

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, bisnis konglomerasi Grup Astra, Djarum, Saratoga dan Sinarmas memperlihatkan kinerja secara keseluruhan yang cukup baik pada paruh pertama tahun ini.

Analis FAC Sekuritas Wisnu Prambudi Wibowo mengatakan sebanyak lima dari enam anak usaha Grup Astra yang IPO, membukukan pertumbuhan dari sisi profitabilitas. Rerata price book value (PBV) Grup Astra di bawah 2 kali, sedangkan entitas anak Astra segmen alat berat, PT United Tractor Tbk. memiliki PBV 2,55 kali.

“Dari seluruh grup konglomerasi, yang fondasi bisnis cukup kuat adalah Grup Astra dan Grup Djarum,” ungkapnya saat dihubungi Bisnis, Minggu (5/8).

Sementara itu, PBV PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), yang merupakan anak usaha Grup Djarum mencapai 4,32 kali. Wisnu mengatakan, PBV yang dimiliki Keluarga Hartono lebih tinggi dari seluruh bank BUMN.

Wisnu menyebutkan investor mengapresiasi infrastruktur digital yang dimiliki BBCA. Selain itu, isu yang paling hangat dari Grup Djarum adalah rencana akuisisi bank kecil oleh BBCA.

Penilaian serupa juga disampaikan Jason Nasrial, Senior Vice President Royal Investium Sekuritas, yang memfavoritkan Grup Astra dan Grup Ciputra. Menurut dia kedua grup tersebut memiliki kualitas yang paling unggul dalam hal good corporate governance dan kinerja fundamental keuangannya.

“Kalau Astra, kinerja keuangan semester pertamanya juga bagus, earning naik sekitar 12%—15%,” katanya.

Sementara itu, Jason mengutarakan Grup Sinar Mas membukukan kinerja yang tidak begitu cemerlang pada sejumlah lini bisnisnya, tetapi sangat menonjol pada divisi kertas dan bubur kertasnya.

Kinerja cukup mencolok berhasil dibukukan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM) dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP), sedangkan pada PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE), PT Puradelta Lestari Tbk. (DMAS), PT Sinar Mas Multiartha Tbk. (SMMA) dan PT Sinar Mas Agro Resources & Technology Tbk. (SMAR) tercatat menurun.

“ Karena harga pulp juga lagi bagus dan orientasi ekspor,” kata Jason.

Kondisi berbeda dicatatkan sejumlah konglomerasi lainnya yang performanya justru belum meyakinkan.

Salah satunya adalah kerajaan milik Hary Tanoesoedibjo, MNC Corporation. Mengandalkan tiga perusahaan yang melantai di bursa, yakni PT MNC Investama Tbk. (BHIT), PT MNC Sky Vision Tbk. (MSKY), dan PT MNC Land Tbk. (KPIG), total laba MNC Corporation turun 66,67%.

Pada semester pertama tahun ini, total laba MNC Corporation tercatat Rp5,13 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, perseroan berhasil mencatatkan laba hingga Rp15,4 triliun. Adapun, pendapatan ketiganya naik sebesar 2,08% dari Rp8,67 triliun menjadi Rp8,85 trilliun.

Tak jauh beda, penurunan laba juga dirasakan oleh penguasa pasar sektor konsumsi di Tanah Air, yakni Salim Group. Ada sejumlah perusahaan yang menjadi andalan Salim Group, yakni PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP), PT Indomobil Sukses International Tbk. (IMAS), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF).

Laba dari ketiga perusahaan itu pada semester I/2018 tercatat senilai Rp2,06 triliun, turun 10,54% dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu Rp2,3 triliun. Pendapatan ketiganya juga tergerus 1,24% dari Rp51,56 triliun menjadi Rp50,92 triliun.

Direktur Utama dan Chief Executive Officer Indofood Anthoni Salim mengatakan, perseroan masih berhasil membukukan pertumbuhan penjualan yang positif, meskipun kinerja sektor agrobisnis kurang menggembirakan.

“Kami memandang positif perkembangan situasi yang terjadi hingga pengujung tahun, akan tetapi tetap waspada dengan volatilitas harga komoditas dan nilai tukar mata uang asing,” tuturnya melalui keterangan resmi.

Tren penurunan pendapatan dan laba juga dialami oleh Grup Triputra, yang mengandalkan PT Kirana Megatara Tbk. (KMTR) dan PT Adi Sarana Armada Tbk. (ASSA). Total pendapatan keduanya turun 19,51%. Pada semester I/2017 pendapatan yang diraih mencapai Rp7,53 triliun, dan turun menjadi Rp6,06 triliun pada semester I/2018. Adapun, laba yang diperoleh terkoreksi 62,85% yakni dari Rp343 miliar menjadi Rp127 miliar.

Kerajaan bisnis Tahir, yakni Mayapada Group tak luput dari tren negatif. Tahir mengandalkan tiga sektor bisnis, yakni PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. (SONA), PT Bank Mayapada Internasional Tbk. (MAYA), dan PT Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk. (SRAJ).

Sebenarnya, total pendapatan ketiganya pada semester I/2018 mencapai Rp2,78 triliun, naik 21,76% dibandingkan dengan semester I/2017 senilai Rp2,28 triliun. Namun, laba total terkoreksi 17,74% dari Rp482,51 miliar menjadi Rp396,92 miliar.

Konglomerasi lain yang juga merasakan hal sama adalah Panin Group. Grup ini memiliki banyak perusahaan yang melantai di pasar modal, yakni PT Bank Pan Indonesia Tbk. (PNBN)PT Panin Sekuritas Tbk. (PANS), PT Panin Financial Tbk. (PNLF), PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk. (PNBS), PT Clipan Finance Indonesia Tbk. (CFIN), dan PT Bank Victoria International Tbk. (BVIC).

Kinerja kurang memuaskan juga dirasakan oleh kerajaan bisnis yang didirikan Mochtar Riady, yakni Lippo Group.

Lippo mengandalkan bisnisnya yang mayoritas bergerak di sektor ritel dan jasa yakni PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF), PT Matahari Putra Prima Tbk. (MPPA), PT Multipolar Tbk. (MLPL), PT Link Net Tbk. (LINK), PT Siloam International Hospitals Tbk. (SILO), PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk. (GMTD), dan PT Multipolar Technology Tbk. (MLPT).

Dari 7 entitas yang masuk Grup Lippo, MPPA, MLPL dan SILO mencatatkan kerugian. Adapun, MLPT dan GMTD mencatatkan penurunan laba masing-masing 26,49% dan 24,38%.

Kepala Riset Narada Kapital Indonesia Kiswoyo Adi Joe menilai, konglomerasi yang bakal mengeruk laba adalah perusahaan yang bergerak di sektor komoditas. Menurutnya, sektor ini masih akan menarik setidaknya hingga 2 tahun ke depan.

“Ini siklus. Komoditas mulai ada perbaikan sejak akhir 2015 dan ini selain batu bara minyak juga membaik. Ini akan bertahan setidaknya sampai 2020,” kata dia, akhir pekan lalu.

Adapun untuk properti, sektor yang juga cukup diandalkan oleh banyak konglomerat di Tanah Air, menurutnya, masih belum mendapatkan momentum.

Kiswoyo menjelaskan, terakhir kali sektor properti menjadi idola adalah pada 2013 silam. "Ini siklusnya 10 tahun kalau untuk properti, jadi paling cepat bisa pulih pada 2022 mendatang," ujarnya.

Sektor lain yang juga cukup menjanjikan adalah digital. Maka tidak heran perusahaan yang awalnya bergerak di sektor jasa keuangan dan investasi, yakni PT Kresna Graha Investama Tbk. (KREN) kini fokus pada bisnis digital.

Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk tercatat mencapai Rp165,2 miliar pada paruh pertama tahun ini, naik 9,1% dibandingkan semester I/2017 yakni senilai Rp151,4 miliar.

Total pendapatan KREN mencapai Rp2,1 triliun, melonjak hingga 803,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp234,1 miliar.

“Pada paruh pertama tahun ini kami memang fokus untuk meningkatkan ekosistem sektor digital. Kami banyak berinvestasi di sektor digital, mulai dari sektor digital exchange, perusahaan IoT, sampai pembayaran digital,” kata Managing Director PT Kresna Graha Investama Tbk. Surjandy Jahja. (Hafiyyan Lindur/Tegar Arief/Dara Aziliya/Novita S. Simamora/Emanuel B. Caesario)

 
pangan bg

Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking

Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda dalam memilih aplikasi mobile banking?

Seberapa sering Anda menggunakan aplikasi mobile banking?

Fitur apa yang paling sering Anda gunakan di aplikasi mobile banking?

Seberapa penting desain antarmuka yang sederhana bagi Anda?

Apa yang membuat Anda merasa nyaman menggunakan aplikasi mobile banking tertentu?

Apakah Anda mempertimbangkan reputasi bank sebelum mengunduh aplikasinya?

Bagaimana Anda menilai pentingnya fitur keamanan tambahan (seperti otentikasi biometrik)?

Fitur inovatif apa yang menurut Anda perlu ditambahkan ke aplikasi mobile banking?

Apakah Anda lebih suka aplikasi yang memiliki banyak fitur atau yang sederhana tetapi fokus pada fungsi utama?

Seberapa penting integrasi aplikasi mobile banking dengan aplikasi lain (misalnya e-wallet atau marketplace)?

Bagaimana cara Anda mengetahui fitur baru pada aplikasi mobile banking yang Anda gunakan?

Apa faktor terbesar yang membuat Anda berpindah ke aplikasi mobile banking lain?

Jika Anda menghadapi masalah teknis saat menggunakan aplikasi, apa yang biasanya Anda lakukan?

Seberapa puas Anda dengan performa aplikasi mobile banking yang saat ini Anda gunakan?

Aplikasi mobile banking apa yang saat ini Anda gunakan?

pangan bg

Terimakasih sudah berpartisipasi

Ajak orang terdekat Anda untuk berpartisipasi dalam kuisioner "Uji pemahamanmu mengenai aplikasi mobile banking"


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper