Bisnis.com, JAKARTA - Sejalan dengan peningkatan capital flight investor global dari kawasan Asia, perbedaan kinerja pasar saham negara berkembang Asia dengan negara maju pun semakin lebar.
Senior Portofolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Caroline Rusli menjelaskan, secara garis besar ada dua sentimen utama yang menjadi penyebab investor global lari dari pasar negara-negara berkembang.
Pertama, kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang tahun ini diperkirakan lebih agresif dibandingkan dengan ekspektasi awal, ditopang oleh kondisi ekonomi yang lebih baik dan inflasi yang meningkat.
Imbal hasil US Treasury yang sempat menembus level psikologis 3% dan menguatnya dollar AS karena dipicu oleh policy divergence The Fed dan ECB mengurangi selera investor untuk berinvestasi pada aset negara berkembang seperti Indonesia.
"Salah satu daya tarik investasi negara berkembang adalah imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan negara maju. Ketika selisih imbal hasil mengecil, risiko yang melekat pada negara berkembang dikhawatirkan tidak mampu mengkompensasi potensi imbal hasil yang ada, dan membuat daya tarik negara berkembang turun," jelasnya dalam riset yang diterima, Sabtu (21/7/2018).
Faktor kedua menurutnya adalah berlarut-larutnya negosiasi perdagangan antara AS dengan mitramitranya, terutama China. Semakin mendekatnya tenggat waktu implementasi tarif, investor global semakin resah.
Akhirnya pada awal Juli AS benar-benar mengimplementasikan pengenaan tarif atas US$34 miliar produk impor China, yang lalu dibalas oleh China dengan tindakan yang sama.
"Sentimen kembali memanas ketika AS kembali memberi sinyal pengenaan tarif ini masih akan berlanjut, dan akibatnya volatilitas pasar pun kembali meningkat membuat investor global bersikap menahan diri," paparnya.
Dia menambahkan, dampak ekonomi pengenaan tarif ini sebenarnya sangat minim, yakni diperkirakan hanya akan menyeret sebesar 0,1%-0,2% PDB China. Akan tetapi jika eskalasi konflik dagang meningkat dan AS benar-benar mengimplementasikan tarif tambahan atas US$200 miliar produk, dampaknya akan lebih besar dan dapat menurunkan potensi PDB China 2019 sampai 1%.
"Walaupun sampai terjadi, kami masih yakin dampak perlambatan ekonomi China tidak akan membawa dunia menuju resesi global."