Bisnis.com, JAKARTA – Harga kedelai Amerika Serikat anjlok 1,26% karena tensi perdagangan AS dan China yang semakin kuat terus menekan harga.
Pada perdagangan Senin (25/6) harga kedelai di Chicago Board Of Trade (CBOT) turun 1,26% atau 11,50 poin menjadi US$904,75 sen per bushel. Pada hari yang sama sempat menyentuh US$886 sen per bushel, dan sempat menguat 1,6% pada Jumat (22/6).
Adapun, harga biji-bijian lainnya seperti jagung dan gandum juga mengalami pelemahan harga. Jagung CBOT tercatat turun 3 poin atau 0,79% menjadi US$375 sen per bushel dan harganya masih tercatat naik 0,93% selama tahun berjalan.
Sedangkan, harga gandum turun 10,50 poin atau 2,08% menjadi US$493,75 sen per bushel, masih tercatat mengalami kenaikan harga sebanyak 12,47% secara year-to-date (ytd).
Harga biji-bijian terutama komoditas kedelai terus tertekan di tengah tensi perdagangan antara AS dan China yang semakin menguat. Departemen Perdagangan AS telah membuat peraturan yang akan memblokir perusahaan yang digenggam oleh China sebesar 25% dari pembelian ke perusahaan AS.
Komoditas kedelai dan jagung AS telah mendapat keuntungan dari kondisi cuaca yang cukup basah dan hangat, sehingga mendorong produksi dan turut menekan harga. Namun, saat ini sejumlah analis memperkirakan kondisi sejumlah wilayah justru terlalu basah untuk menanam dua komoditas biji-bijian itu.
Mark Borrett, rekanan LaSalle Group of Rosenthal Collins Group LLC (RCG), berpendapat bahwa China tidak akan mampu bertahan jika tidak membeli kedelai AS, tidak peduli meskipun ada tarif mahal yang harus dibayarkan.
Borret juga mengungkapkan bahwa China telah memilih waktu yang salah untuk memulai perang dagang, mengingat lahan kedelai di Argentina tengah mengalami kekeringan. Menurutnya, Brasil tidak mempu memproduksi sebanyak yang diharapkan.
Borrett memperkirakan pada Agustus mendatang pasar akan tetap mengandalkan kedelai dari AS apabila melihat kondisi lahan tanam di Brasil saat ini. Dia juga memprediksikan bahwa harga kedelai kemungkinan berpotensi bisa kembali reli pada musim dingin Januari mendatang.
“Apabila China bisa menahan lebih dari satu musim, mungkin akan membawa perubahan global, termasuk luas lahan di Brasil dan AS bisa kembali menambah luas ladang jagungnya,” ujar Borrett, dikutip dari Reuters, Senin (25/6/2018).