Bisnis.com, JAKARTA— Kurs rupiah atas dolar Amerika Serikat memasuki hari kedua berada di atas Rp14.000 per dolar AS.
Pada hari ini, Selasa (8/5/2015), rupiah melemah 37 poin atau 0,26% ke Rp14.038. Pada perdagangan Senin (7/5/2018), rupiah ditutup melemah 0,4% ke Rp14.001 per dolar AS.
“Pelemahan nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir Mei 2018 terbuka peluang kurs terdepresiasi hingga 14.000-14.200,” kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara kepada Bisnis.com, Selasa (8/5/2018).
Untuk mengerem pelemahan rupiah, Bhima mengemukakan diperkukan sejumlah langkah.
Pertama, karena sebagian besar yang mempengaruhi pelemahan rupiah bukan sekadar faktor global tapi juga fundamental ekonomi, maka pemerintah disarankan untuk memperkuat kinerja ekonomi domestik.
“Pulihkan kepercayaan investor, jaga stabilitas harga baik BBM, listrik maupun harga pangan jelang Ramadan sehingga konsumsi rumah tangga yang berperan 56% terhadap PDB bisa pulih,” kata Bhima.
Kedua, pengusaha terutama yang memiliki utang luar negeri diharapkan untuk melakukan hedging atau lindung nilai. Fluktuasi kurs dapat membuat risiko gagal bayar utang valas meningkat. Kemudian bagi perusahaan yang bersiap membagikan dividen perlu mempersiapkan pasokan dolar untuk memitigasi kedepannya kurs dolar semakin mahal.
Ketiga, cadev pastinya akan terus tergerus untuk stabilitas nilai tukar. Bank Indonesia tidak bisa andalkan cadev sebagai satu-satunya instrumen untuk stabilitas nilai tukar.
“Jika kondisi mendesak BI bisa naikkan bunga acuan 25 bps-50 bps. Kenaikan bunga acuan diharapkan bisa menaikkan return instrumen investasi di Indonesia sehingga dana asing tidak melanjutkan capital flight,” kata Bhima.
Enam Faktor Penekan
Sementara itu Bhima mengemukakan pelemahan kurs rupiah atas dolar AS dipengaruhi sejumlah faktor.
Pertama, investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed Rate pada rapat FOMC Juni mendatang setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9% terendah bahkan sebelum krisis 2008.
Spekulasi ini membuat capital outflow dipasar modal mencapai Rp11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir. Spekulasi pasar jelang rapat Fed membuat sentimen investasi di negara berkembang khususnya Indonesia menurun.
Kedua, investor juga bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2018 yang hanya mencapai 5,06%. Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok 2,8% di kuartal I/2018, dan data penjualan ritel yang turun.
Sentimen tersebut membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4%.
Ketiga, harga minyak mentah terus meningkat hingga US$74-US$75 per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China.
Hal itu membuat inflasi jelang Ramadan semakin meningkat karena harga BBM nonsubsidi yaitu pertalite dan pertamax akan menyesuaikan mekanisme pasar.
Inflasi dari pangan juga perlu diwaspadai karena harga bawang merah naik cukup tinggi dalam 1 bulan terakhir.
Keempat, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada kuartal II/ 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.
Kelima, importir lebih banyak memegang dolar untuk kebutuhan impor bahan baku dan barang konsumsi jelang Lebaran.
Perusahaan juga meningkatkan pembelian dolar untuk pelunasan utang luar negeri jangka pendek. Lebih baik beli sekarang sebelum dolar semakin mahal. Ada efek antisipasi penambahan cuti Lebaran terhadap perilaku pengusaha yang borong dolar di pasar. Meskipun dampaknya kemungkinan kecil ke fluktuasi kurs.
Keenam, defisit transaksi berjalan tahun ini semakin melebar diperkirakan hingga 2,1% terhadap PDB. Selain karena keluarnya modal asing juga karena defisit neraca perdagangan yang diperkirakan akan kembali terjadi jelang Lebaran karena impor barang konsumsinya naik.