Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah emiten semen menggenjot efisiensi dan penetrasi pasar di tengah kelebihan pasokan dan kenaikan harga batu bara yang menjepit kinerja keuangan perseroan hingga kuartal I/2018.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, laba yang dapat diatribusikan kepada entitas induk PT Semen Indonesia (Persero) Tbk., PT Semen Baturaja (Persero) Tbk., dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., pada kuartal I/2018, menjadi yang terendah pada rentang 2015-2018.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal I/2018, laba bersih tiga produsen semen itu tergerus lebih dari 40% secara tahunan pada 2018. Padahal, pendapatan yang dikantongi masih mengalami pertumbuhan.
Direktur Utama Semen Baturaja Rahmad Pribadi mengklaim terjadi perbaikan kinerja operasional perseroan pada kuartal I/2018. Di tengah kondisi kelebihan pasokan, emiten berkode saham SMBR itu membukukan kenaikan EBITDA Margin dari 20% menjadi 23%.
Akan tetapi, dia menyebut kelebihan pasokan menyebabkan harga penjualan rata-rata perseroan terkoreksi pada kuartal I/2018. Menurutnya, harga penjualan SMBR terkoreksi 6% selama periode tersebut.
“Kenaikan harga batu bara bisa diimbangi dengan perbaikan efisiensi biaya produksi. Jadi, secara EBITDA Margin masih naik,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (2/5).
Baca Juga
Rahmad mengungkapkan penyebab turunya laba bersih akibat biaya depresiasi dan bunga terkait Pabrik Baturaja II. Selain itu, kenaikan harga batu bara memengaruhi EBITDA perseroan.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, sambungnya, perseroan akan tetap menjalankan strategi “Inisiatif Tiga Gajah” yang terdiri atas cost leadership, market expansion, dan business process streamlinin. Pasalnya, langkah itu menurutnya mampu memperbaiki kinerja operasional.
Terkait regulasi, dia menyebut perlu adanya peran aktif dari pemerintah untuk mengerek kinerja produsen semen. Dalam jangka pendek, diperlukan pembatasan impor klinker dan pembangunan pabrik baru.
“Sementara, dalam jangka menengah diperlukan insentif bagi sektor properti karena korelasi pertumbuhan dengan industri semen sangat erat,” paparnya.
Seperti diketahui, pendapatan SMBR tercatat tumbuh 20,27% secara tahunan dari Rp327,77 miliar menjadi Rp394,21 miliar pada kuartal I/2018. Namun, laba bersih yang dikantongi perseroan tergerus 60% secara tahunan menjadi Rp12,66 miliar.
Di sisi lain, Sekretaris Perusahaan Indocement Tunggal Prakarsa Antonius Marcos mengungkapkan volume penjualan perseroan tercatat tumbuh 9% secara tahunan pada kuartal I/2018. Akan tetapi, ketatnya persaingan membuat perseroan harus menurunkan harga penjualan rata-rata.
“Secara rata-rata, harga jual kami mengalami penurunan kurang lebih 11%-12% dibandingkan dengan tahun lalu,” jelasnya.
Selain tergerusnya harga penjualan, Marcos menyebut perseroan juga tertekan dengan kenaikan harga batu bara pada kuartal I/2018. Pasalnya, komponen biaya batu bara mencapai 30%-35% dari total biaya produksi.
“Kenaikan harga batu bara sudah berdampak terhadap kinerja keuangan kuartal I/2018,” imbuhnya.
Sebagai catatan, berdasarkan laporan keuangan kuartal I/2018, pendapatan INTP hanya tumbuh tipis 1,87% menjadi Rp3,43 triliun pada periode tersebut. Sebaliknya, beban usaha tercatat naik 10,85 secara tahunan.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Semen Indonesia Agung Wiharto menjelaskan bahwa tergerusnya laba bersih perseroan akibat kenaikan harga batu bara yang membebani keuangan pada kuartal I/2018. Selain itu, perseroan semen pelat merah itu harus membayar bunga atas pinjaman yang digunakan untuk pengembangan proyek.
Kendati demikian, dia menyebut pendapatan SMGR tercatat masih tumbuh pada kuartal I/2018. Menurutnya, pendapatan naik dari Rp6,39 triliun pada kuartal I/2017 menjadi Rp6,6 triliun.
Direktur Keuangan Semen Indonesia Doddy Sulasmono Diniawan menjelaskan bahwa mulai tahun ini perseroan akan berinvestasi ke pengembangan produk hilir seperti mortar dan batu bata. Hal tersebut untuk menggarap bisnis di luar penjualan semen.
“Mungkin ada akuisisi pabrik mortar karena tidak ada yang besar di Indonesia. Sementara itu, untuk ekspansi pabrik semen murni akan ditahan dahulu,” jelasnya.
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital menilai tekanan untuk emiten semen belum akan berakhir dalam waktu dekat. Hal tersebut akibat kelebihan pasokan semen didomestik yang belum dapat teratasi serta kenaikan harga batu bara.
“Emiten, pasar, dan investor harus menerima margin emiten semen dalam jangka pendek tidak setebal dulu,” jelasnya.
Kendati demikian, Alfred meyakini dalam jangka panjang emiten semen masih prospektif. Pasalnya, tingkat konsumsi semen di Indonesia masih memiliki ruang pertumbuhan.
“Konsumsi semen per kapita di Indonesia masih sangat jauh dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia,” imbuhnya.
Sebelumnya, Analis PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Mimi Halimin, dalam risetnya yang dikutip melalui Bloomberg masih memasang target konservatif 6% pertumbuhan konsumsi semen domestik tahun ini. Hal itu diyakini meski pada Januari 2018-Februari 2018 konsumsi di dalam negeri tumbuh 8,2% secara tahunan.
Mimi menyebut salah satu faktor yang akan berdampak terhadap penjualan semen tahun ini yakni pemilihan kepada daerah. Oleh karena itu, diperkirakan konsumsi domestik hanya tumbuh moderat menjadi 70,3 juta ton pada 2018.
Selain kondisi politik nasional, sambungnya, kelebihan pasokan dan ketatnya persaingan masih membayangi emiten semen. Diharapkan, membaiknya kinerja secara bertahap terjadi melalui peningkatan volume penjualan dan efisiensi untuk menjaga margin.