Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan agribisnis Olam International Ltd. menyatakan bahwa peningkatan konsumsi diprediksi dapat membawa pasar kakao menuju kekurangan pasokan pada musim depan.
“Permintaan meningkat dan sejumlah negara produsen termasuk Indonesia sedang kesulitan untuk menambah pasokan,” ujar Gerry Manley, kepala perusahaan pengolah kakao di Singapura pada konferensi kakao dunia di Berlin, dikutip dari Bloomberg, Rabu (25/4/2018).
Pasar ditutup untuk melakukan penyeimbangan pada musim yang berakhir pada September mendatang. Perdagangan berjangka kakao tergelincir dalam dua tahun terakhir karena pertanian kakao terbesar di dunia Pantai Gading mencatat rekor panen besar dan membuat pasokan global melimpah.
Pada perdagangan ICE Futures, harga kakao naik 3,3% atau 89 poin menjadi US$2.815 per metrik ton untuk pengiriman Juli 2018, kenaikan terbesar sejak kontrak teraktif April 2018.
Secara year-to-date (ytd) tercatat mengalami kenaikan sebesar 49,84% di tengah kekhawatiran pasar akan kekurangan pasokan global, terutama di Afrika dan Asia, mengubah surplus menjadi defisit.
“Diprediksi bullish ini bisa bertahan satu kuartal lagi,” ujar James Cordier, pendiri Optionsellers.co di Tampa, AS.
Menurut Manley, dengan harga yang lebih rendah memancing permintaan lebih banyak lagi, dengan peningkatan pengolahan hingga 5% pada musim lalu dan kemungkinan bertumbuh 4% pada musim 2017-2018.
“Sepertinya tahun ini akan mengalami defisit karena permintaan yang meningkat. Saat ini memang butuh pasokan untuk pasar dan satu atau dua wilayah memang sedang berjuang,” kata Manley.
Perdagangan berjangka kakao mmengalami rebound lebih dari 30% pada tahun ini setelah anjlok ke level terendah setelah beberapa tahun ke posisi US$1.847 per metrik ton pada Januari. Harga kakao saat ini berada pada level yang lebih teratur untuk sejumlah pemain pasar.
“Di bawah US$2.581, menurut saya kakao sudah menyulitkan untuk sejumlah produsen dan beberapa petani. Namun, hal baiknya dari harga rendah adalah dapat menstimulasi konsumsi secara signifikan,” ujarnya.
Berdasarkan pendapat Olam, saat ini permintaan menguat terhadap mentega kakao, yang tidak hanya digunakan untuk pembuatan cokelat, tetapi juga untuk produk lain seperti minuman keras dan bentuk bubuk, yang diperkirakan bisa berlanjut hingga beberapa bulan kedepan.
“Kami percaya konsumsi masih cukup kuat dan kami melihat peningkatan konsumsi terjadi di sejumlah wilayah bisnis lain, tidak hanya cokelat. Konsumsi bergeser ke produk olahan susu, seperti es krim dan roti,” kata Manley.
Olam memprediksi, Pantai Gading akan memproduksi sekitar 2 juta ton kakao pada musim ini, sedikit di bawah produksi tahun lalu yang berjumlah 2,1 juta ton.
Sementara itu, Ghana sebagai petani kakao terbesar kedua, akan memanen sekitar 800.000 ton dan produksinya diperkirakan akan tumbuh pada musim depan.
“Masalahnya ada pada manajemen penyediaan pupuk dan pestisidanya daripada tanamannya sendiri, dan itu menjadi alas an mengapa Ghana tidak memproduksi terlalu banyak. Kami pun tidak berharap ada lonjakan tinggi dalam produksi kakao tahun depan,” ujar Manley.