Bisnis.com, JAKARTA – Sebagian analis menilai bahwa harga aluminium masih sulit jika diperkirakan menembus level US$3.000 per ton dalam waktu dekat. Pasalnya, sentimen yang tengah menimpa pasar aluminium dipengaruhi oleh kondisi geopolitik yang kemungkinan bisa saja mereda atau bahkan mendingin.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan bahwa sepanjang tahun Anjing Tanah ini, paling tidak harga aluminium akan bergerak di kisaran US$2.300—US$2.500 per ton.
Menurut Ibrahim, faktor pemberlakuan sanksi pembekuan bisnis Rusia, termasuk United Co. Rusal, produsen aluminium terbesar di luar China merupakan sentimen sesaat yang mempengaruhi penguatan harga aluminium saat ini.
Tercatat, harga aluminium di London Metal Exchange (LME) ditutup melambung 5% atau 114 poin menjadi US$2.399 per ton pada penutupan perdagangan Senin (16/4). Angka ini merupakan level tertinggi sejak September 2011. Secara year to date (ytd), harga tumbuh 5,78%.
“Sanksi AS ke Rusia ini hanya sesaat. Kemungkinan tidak ada ketegangan yang berkelanjutan dan mungkin tidak benar—benar diberlakukan,” papar Ibrahim kepada Bisnis, Selasa (17/4).
Ibrahim menjelaskan bahwa sentimen utama yang dapat memberi kekuatan pada harga aluminium datang dari pajak bea masuk aluminium sebesar 25% yang diberlakukan oleh AS kendati pemberlakuan ini bisa saja dibatalkan oleh Trump.
Baca Juga
Kebutuhan AS yang cukup tinggi terkait infrastruktur dan militer telah mendorong Trump untuk menetapkan kenaikan bea impor yang mendukung kenaikan pajak negara. Faktor ini pada akhirnya memberi imbas pada pengutaan harga aluminium.
Di samping itu, sentimen pertumbuhan ekonomi China juga mendorong sentimen positif bagi harga. Hari ini (17/4) pemerintah China menunjukkan data PDB China periode kuartal I/2018 dirilis sebesar 6,8%, stabil dari kuartal sebelumnya, namun melampaui ekspetasi sebesar 6,7%.
Hal ini didukung oleh pertumbuhan industri China yang tumbuh, bahkan ketika terjadi perang dagang dengan Washington. Oleh sebab itu, pertumbuhan tersebut mendukung harga aluminium sebagai salah satu komoditas logam industri.
“Untuk mencapai level US$3.000 per ton saya rasa masih sulit. Paling tidak di level tersebut [US$2.300—US$2.500] seiring dengan adanya tekanan dari ekspektasi kenaikan tingkat suku bunga AS yang berkelanjutan di tahun ini,” lanjut Ibrahim.