Bisnis.com, JAKARTA - Dolar Amerika Serikat melemah pada perdagangan Kamis (12/4/2018) karena para investor mencari perlindungan di mata uang safe-haven seperti yen Jepang di tengah kekhawatiran atas kemungkinan tindakan militer Barat terhadap Suriah.
Indeks dolar AS, yang melacak pergerakan greenback terhadap enam mata uang dunia terpantau melemah 0,06% atau 0,055 poin ke level 89,513 pada pukul 8.42 WIB.
Sebelumnya, indeks dolar dibuka turun 0,08% di posisi 89,499 setelah pada perdagangan Rabu (11/4) ditutup turun tipis 0,02% atau 0,019 poin ke posisi 89,568.
Dilansir Reuters, ketegangan geopolitik menggeser fokus investor menjauh dari perdagangan AS-China, dengan dolar perdagangan terakhir sedikit berubah pada level 106,810 yen setelah kehilangan 0,4% pada perdagangan sebelumnya. Yen sering menarik permintaan di tengah gejolak pasar dan ketegangan politik.
Dolar AS sebelumnya meningkat menjadi 107.400 yen pada Selasa setelah komentar dari Presiden China Xi Jinping menenangkan kekhawatiran atas perang perdagangan AS - China, yang telah mencengkeram pasar keuangan global selama beberapa pekan terakhir.
Namun, sentimen positif terhadap greenback tersebut berlangsung singkat, ketika fokus bergeser pada kemungkinan konflik militer yang lebih luas di Timur Tengah.
Ketegangan meningkat setelah Presiden AS Donald Trump memperingatkan Rusia pada Rabu mengenai aksi militer yang akan segera terjadi di Suriah atas dugaan serangan gas beracun, yang menyatakan bahwa rudal "akan datang" dan menargetkan Moskow karena berada di pihak Presiden Suriah Bashar al-Assad.
"Yen telah menguat terhadap dolar pada kekhawatiran geopolitik. Dolar telah melemah terhadap mata uang lainnya juga, tetapi faktor-faktor lain lebih berperan, seperti harga komoditas yang lebih tinggi dan ekspektasi kebijakan moneter ECB," kata Masafumi Yamamoto, analis valas di Mizuho Securities di Tokyo, seperti dikutip Reuters.
"Adapun ketegangan Suriah, perpecahan yang tampaknya terjadi sejak era Perang Dingin dengan Amerika Serikat, Inggris dan Prancis di satu sisi dan Rusia di sisi lain, akan terus berlangsung," kata Yamamoto.