Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) berjangka di bursa Malaysia Deriatives Exchange (MDEX) mengalami penurunan 3 sesi berturut-turut pada akhir pekan lalu, mengikuti pelemahan pada minyak terkait di Chicago Board of Trade (CBOT) dan China’s Dalian Commodity Exchange.
Terpantau, harga CPO kontrak pengiriman Juni 2018 di Bursa MDEX turun 0,6% menjadi 2.404 ringgit (US$621,83) per ton pada penutupan perdagangan Kamis (29/3/2018) setelah dalam perdagangan tersebut sempat menyentuh 2.399 ringgit, terendah sejak 13 Maret.
Sepanjang bulan ini, harga telah melemah hingga 6,1%. Sementara secara year-to-date (ytd), harga menurun hampir 4%.
Menurut para analis, harga CPO diperkirakan akan berlanjut mengalami penurunan dalam beberapa bulan ke depan.
“CPO kemungkinan akan turun menjadi 2.150 ringgit per ton dalam 3 bulan,” kata analis pasar Reuters untuk teknikal komoditi dan energy Wang Tao.
Harga CPO berpotensi jatuh lebih jauh pada tahun ini dinilai lantaran produksi diperkirakan akan meningkat setelah fenomena cuaca kering El Nino di samping pohon muda yang mencapai kedewasaan sehingga meningkatkan area panen.
“Produksi pada Maret dan April diperkirakan akan tinggi,” kata seorang pedagang berjangka yang berbasis di Kuala Lumpur.
Ekspektasi produksi yang lebih tinggi pada Maret dan April akan menekan harga CPO. Output minyak nabati biasanya meningkat secara musiman sekitar kuartal kedua sebelum memuncak pada kuartal ketiga.
Catatan sebelumnya menurut Malaysia Palm Oil Council (MPOC), tercatat produksi CPO Malaysia pada periode Februari telah meningkat 6,7% year-on-year (yoy) menjadi 1,34 juta ton seiring dengan perbaikan setelah efek El Nino di 2016.
Akumulasi 2 bulan pertama di Tahun Anjing Tanah ini menunjukkan kenaikan produksi CPO mencapai 15,5% yoy menjadi 2,93 juta ton. Diperkirakan, produksi CPO Malaysia akan terus membaik pada 2018 dan berpotensi mencapai angka di atas 20 juta ton untuk pertama kalinya.
Di samping itu, perlu diketahui bahwa harga CPO telah terpeleset setelah diumumkannya penangguhan pajak ekspor Malaysia yang akan mulai lagi, yakni pada 7 April 2018.
Pemerintah Malaysia melalui surat edarannya akan kembali menetapkan pajak ekspor CPO sebesar 5% pada April setelah melakukan penangguhan selama 3 bulan pertama di tahun ini.
“Dalam jangka pendek, ini [penetapan pajak ekspor CPO Malaysia] bisa mendorong pembeli untuk membeli lebih banyak menjelang kembalinya pajak,” kata David Ng, spesialis derivative di Philip Futures.
“Namun dalam jangka menengah, kami melihat permintaan yang lebih lambat karena pembeli beralih ke Indonesia,” tambahnya.
David Ng menuturkan bahwa, pembeli utama seperti India dan Cina adalah pasar yang sensitif terhadap harga dan cenderung menyukai minyak sawit Indonesia karena harganya biasanya lebih rendah setelah memperhitungkan pajak ekspor Malaysia.
Selain itu, harga CPO mengalami pelemahan didorong juga oleh ringgit yang sempat bertenaga akhir-akhir ini.
Ringgit, mata uang perdagangan sawit tercatat turun tipis 0,1% menjadi 3,8660 per dolar pada Kamis malam, setelah naik ke level tertinggi dalam hampir dua tahun di sesi sebelumnya.
Kekuatan pada ringgit biasanya menekan harga CPO dengan membuatnya lebih mahal bagi pemegang mata uang asing, serta sebaliknya.
Sementara itu, harga minyak nabati lainnya, seperti minyak kedelai mengalami penurunan juga, Kontrak minyak kedelai kontrak Mei 2018 di CBOT tercatat turun 0,3%, sementara minyak kedelai kontrak Mei 2018 di China Dalian Commodity Exchange melemah 1,3%.
Harga minyak sawit dipengaruhi oleh pergerakan minyak nabati saingan karena komoditas perkebunan tersebut bersaing di pasar minyak nabati global.