Bisnis.com, MEDAN — Laba PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. yang terus melambat dalam lima tahun terakhir disinyalir akibat kebijakan pemerintah mengatur harga gas industri.
Reza Priyambada, Analis Binaartha Parama Sekuritas, mengatakan penurunan laba bersih PGN pada tahun lalu merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang mengatur harga gas industri melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
“Turunnya laba bersih PGN bukan karena ketidakmampuan manajemen dalam menjalankan perusahaan. Namun merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang mengatur harga gas industri,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (20/3/2018).
Pada pasal 3 Perpres tersebut, lanjut Reza, harga gas bumi ditetapkan tidak lebih dari US$ 6/MMbtu. Jika harga gas bumi tidak memenuhi keekonomian industri dan lebih tinggi dari nilai tersebut, distributor harus menunggu penetapan harga tertinggi dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Secara historis, pada 2012, PGN mencatatkan pendapatan US$2,58 miliar dengan laba bersih US$915 juta. Sementara tahun lalu, perseroan membukukan pendapatan US$2,16 miliar dengan laba bersih hanya US$98 juta.
Dalam 5 tahun terakhir, terangnya, bukan hanya penetapan harga gas industri oleh pemerintah yang menekan keuangan PGN, tapi kebijakan penetapan bauran energi dalam megaproyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt (MW) juga banyak meleset dari perkiraan.
“Bahkan, PGN menurunkan harga gas untuk keperluan pembangkit listrik sampai 12%. Memang yang menjadi kendala PGN adalah pemerintah mematok harga jual gas kepada industri dengan tujuan lebih murah. Sementara itu, PGN dihadapkan pada biaya operasional yang tinggi,” ujar Reza.
Selain itu, PGN juga menurunkan harga gas industri di sejumlah daerah guna mendukung program pemerintah, seperti di Medan, Surabaya, Cirebon dan sejumlah kawasan industri lainnya.
Kendati demikian, dia berpendapat, PGN memiliki prospek kinerja yang cerah di masa depan. Mengingat pemerintah telah menetapkan gas menjadi dagangan utama perusahaan, menjadi energi utama pertumbuhan industri menggantikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Saya melihat ke depannya pemakaian batubara dan BBM akan berkurang, karena pelaku industri terus mencari energi alternatif yang murah dan bersih yang bisa diperoleh dengan menggunakan gas," tutur Reza.