Bisnis.com, JAKARTA -- Emiten penerbangan milik negara, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. membukukan rugi bersih sepanjang 2017 sebesar US$67,6 juta. Kondisi itu berbalik dari raihan laba bersih sebesar US$9,36 juta pada 2016.
Pada 2017, kerugian yang dibukukan emiten berkode saham GIAA ini sebesar US$67,6 juta belum memperhitungkan extraordinary item. Dengan memperhitungkan extraordinary item, rugi Garuda Indonesia mencapai US$213,4 juta atau membengkak lebih dari tiga kali lipat.
Tahun lalu, GIAA meraup pendapatam sebesar US$4,2 miliar atau naik 8,1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Direktur Utama Garuda Indonesia (Persero) Pahala N. Mansury mengungkapkan pada tahun lalu, memang ada pos-pos khusus yang menyebabkan kerugian GIAA mencapai US$213,4 juta.
"Pos-pos khusus itu misalnya berpartisipasinya Garuda Indonesia pada proses tax amnesty dan perseroan harus membayar denda kepada Australia," ungkap Pahala dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/2).
Pahala merujuk pada gugatan dari Australia atas bisnis kargo perseroan yang berujung pada Garuda Indonesia harus membayar denda sebesar US$7,5 juta pada tahun lalu.
Baca Juga
Adapun, secara konsolidasi, beban perseroan pun meningkat cukup signifikan yaitu sebesar 13% menjadi US$4,25 miliar dari sebelumnya US$3,8 miliar. Kenaikan beban terbesar yaitu dari bahan bakar yang naik 25% pada 2017 menjadi US$1,15 miliar dari sebelumnya US$924 juta