Bisnis.com, JAKARTA — Momentum tingginya volatilitas pasar surat utang saat ini serta kian rendahnya suku bunga perbankan berpotensi meningkatkan permintaan investor ritel pada instrumen sukuk ritel, asalkan tingkat kupon yang ditawarkan cukup menarik.
Pemerintah akan memulai penawaran instrumen surat berharga syariah negara ritel atau sukuk ritel pada Jumat pekan ini hingga pertengahan Maret 2018 mendatang. Sukuk ritel atau sukri yang diterbikan tahun ini merupakan seri ke-10 sejak pertama kali instrumen tersebut diterbitkan pada 2008.
Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, mengatakan bahwa sukri merupakan instrumen berdenominasi rupiah dan diterbitkan dengan tenor pendek, yakni 3 tahun. Ada beberapa faktor yang memungkinkan permintaan sukri akan relatif tinggi tahun ini.
Pertama, sukri yang memiliki struktur bertenor pendek akan cenderung menjadi pilihan di saat pasar obligasi saat ini sangat fluktuatif akibat sentimen global. Instrumen domestik bertenor pendek justru lebih aman dalam kondisi pasar penuh ketidakpastian.
Kedua, suku bunga deposito perbankan saat ini relatif rendah. Tingkat bunga LPS saat ini berada di level 5,75%. Permintaan terhadap sukri akan tinggi bila pemerintah bersedia menawarkan tingkat kupon sedikit lebih tinggi.
Ketiga, likuditas rupiah saat ini tengah sangat tinggi, terlihat dari terus meningkatnya dana pihak ketiga perbankan padahal tingkat bunga yang ditawarkan sistem perbankan makin rendah. Dana pihak ketiga ini tentu berpotensi untuk dialihkan ke instrumen lain yang lebih menguntungkan.
“Saya pikir dari sisi demand dan likuiditas investor tidak menjadi isu, tinggal nanti kuponnya menarik atau tidak tergantung hitung-hitungan pemerintah dan investor. Kalau mau menarik banyak investor tentu perlu beri rate yang lumayan menarik, tetapi kalau pemerintah tidak ingin cost tinggi artinya siap terima berapapun bid-nya,” katanya, Senin (19/2/2018).
I Made Adi Saputra, Head of Fixed Income Research MNC Sekuritas, mengatakan bahwa bila berkaca pada penerbitan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) pada Oktober 2017, permintaan investor sangat rendah karena pemerintah menawarkan kupon yang rendah.
Saat itu, ORI014 diterbitkan dengan kupon 5,85% per tahun, sangat mepet dengan tingkat bunga LPS serta yield seri surat utang negara (SUN) yang menadi acuannya. Permintaan investor atas instrumen ini hanya mencapai Rp8,98 triliun, terendah dalam 7 tahun terakhir.
Made menilai, bila pemeritah masih menerapkan strategi penentuan kupon yang mepet dengan yield SUN acuan dan LPS rate seperti itu, kemungkinan minat investor pada sukri tahun ini pun minim, meskipun saat ini yield SUN mulai kembali meningkat.
Kupon yang terlampau rendah akan menyulitkan likuiditas instrumen tersebut di pasar sekunder nantinya, sebab ruang bagi investor untuk mendapat capital gain di pasar sekunder menjadi sangat tipis.
Made mengatakan, pemerintah rencananya baru akan bertemu dengan para agen penjual pada Rabu pekan ini untuk menentukan besaran target penerbitan dan kupon. MNC Sekuritas merupakan salah satu agen penjual sukri tahun ini dari kelompok sekuritas.
Menurutnya, isu kupon yang terlampau rendah tidak akan menjadi masalah bila pemerintah melonggarkan batas nilai unit investasi sukri di bawah Rp1 juta. Saat ini, nilai minimal investasi baik ORI maupun Sukri masih di level Rp5 juta.
“Kalau size minimalnya di bawah Rp1 juta, kupon 5,75% pun sudah luar biasa sebetulnya untuk mahasiswa dan generasi milenial. Secara psikologis, bagi investor pemula yang baru masuk dengan dana tidak besar, return seperti itu dengan dana investasi Rp100.000 sampai Rp250.000 masih menarik,” katanya.
Made mengatakan, investor ritel pemula sudah bisa membeli reksa dana dengan invetasi kurang dari Rp500 ribu. Dengan nilai yang kecil, investasi terasa seperti menabung saja sehingga tingkat kupon tidak menjadi tuntutan serius.
Hal ini berbeda ketika batas investasinya Rp5 juta seperti saat ini. Dengan dana yang lebih besar seperti itu, sudah ada lebih banyak produk yang bisa dibeli di pasar dengan tawaran imbal hasil yang lebih menarik. ORI atau sukri justru akan kurang diminati.
Amir Dalimunthe, Head of Debt Research Danareksa Sekuritas, mengatakan bahwa berdasarkan rancangan APBN 2018 pemerintah, porsi penggalangan utang dari ORI dan sukri relatif kecil, maksimal sekitar 4% dari nilai gross issuance Rp846,4 triliun, atau sekitar Rp33,8 triliun.
Dirinya menilai, dengan target yang relatif rendah tersebut, pemerintah tampaknya tidak memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap penerbitan instrumen surat utang untuk investor ritel tahun ini.
Tampaknya, waktu 1 dekade terakhir dinilai sudah cukup untuk menciptakan pasar investor surat berharga negara ritel sehingga kebutuhan untuk mengembangkan pasar melalui gimmick kupon yang tinggi tidak akan terlalu mendesak.
“Kalau dulu pemerintah memberi kupon tinggi karena tujuannya untuk mengembangkan marketnya. Kalau sekarang market-nya sudah lumayan jadi, tinggal sesuaikan dengan kondisi market yang ada saja,” katanya.
Amir mengatakan, pemerintah masih memiliki sumber pendanaan yang sangat beragam untuk memenuhi kebutuhan anggarannya tahun ini. Alhasil, sangat terbuka kemungkinan pemerintah tidak akan keberatan menyerap permintaan yang kecil asalkan dengan biaya dana yang lebih terjangkau.
Adapun, sukri SR-009 yang diterbikan tahun lalu mendulang permintaan investor senilai Rp14,03 triliun atau 70% dari target indikatif saat itu Rp20 triliun lantaran kuponnya yang rendah. Kupon Sukri SR-009 saat itu hanya 6,9%, turun jauh dibandingkan kupon seri sebelumnya 8,3%.