Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pasar Saham Bergejolak di Tengah Pertemuan The Fed

Saat dimulainya pertemuan bulanan Federal Reserve, saham bergejolak di tengah kekhawatiran investor terhadap prospek kenaikan suku bunga acuan AS.
Bank sentral AS The Federal Reserve/Reuters-Larry Downing
Bank sentral AS The Federal Reserve/Reuters-Larry Downing

Bisnis.com, JAKARTA - Saat dimulainya pertemuan bulanan Federal Reserve, saham bergejolak di tengah kekhawatiran investor terhadap prospek kenaikan suku bunga acuan AS.

Indeks S&P 500 ditutup melemah 1,09% pada perdagangan Selasa (30/1/2018), bahkan sempat merosot 1,8%. Kekhawatiran akan kenaikan lonjakan suku bunga acuan mendorong imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun menjadi 2,72%.

The Fed diperkirakan tidak akan menaikkan suku bunga pada pertemuan dua hari yang berakhir pada Rabu, namun bank sentral menargetkan kenaikan pada Maret dan setidaknya dua kali lagi tahun ini.

Suku bunga telah naik karena meningkatnya ekspektasi inflasi dan gagasan bahwa bank sentral menjauh dari kebijakan yang longgar, bertepatan dengan rencana pemerintah AS untuk mengeluarkan setumpuk hutang baru.

Pemerintah AS membuat pengumuman mengenai jumlah lelang surat utang baru pada hari Rabu pagi, dan itu berpotensi mendorong tingkat suku bunga lebih tinggi lagi jika ada kejutan.

James Paulsen, kepala analis investasi di Leuthold Group, mengatakan pasar telah rentan karena valuasi yang tinggi, dan sekarang kenaikan suku bunga menambah tekanan karena investor melihat alternatif di pasar obligasi yang memiliki imbal hasil lebih tinggi.

"Ketika Anda dihadapkan dengan pasar yang yang memiliki sejumlah tantangan, ini rentan, dan hal kecil apapun dapat berimbas pada reaksi besar," katanya, seperti dikutip CNBC.

Pasar saham AS juga diseret turun pada hari Selasa oleh aksi jual di saham layanan kesehatan, dipicu oleh pernyataan Amazon, Berkshire Hathaway dan JP Morgan Chase bahwa mereka akan bermitra untuk menemukan solusi lebih baik dan lebih murah untuk kesehatan karyawanpeduli. Sektor tersebut merosot 2,1%.

Ketidakstabilan dua hari terakhir ini telah menjadi divergensi yang tidak biasa untuk pasar yang tidak mengalami pelemahan 3% sejak beberapa hari sebelum pemilihan presiden pada November 2016. Aksi jual terburuk sebelum itu adalah penurunan 5,3% setelah Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa pada bulan Juni 2016.

Tom Lee, salah satu pendiri dan kepala penelitian Fundstrat Global Advisors, mengatakan bahwa dia tidak akan terkejut jika pasar turun beberapa persen sebelum investor masuk kembali ke pasar saham.

"Saya pikir sangat mungkin pasar akan melemah 3% hingga 5%," katanya. "Ini pasti akan membuat orang khawatir, tapi sebenarnya ini bukan apa-apa, ini akan membawa penguatan bulan Januari turun menjadi 2%. Saya pikir kenaikan suku bunga adalah hal yang bagus karena menciptakan harapan reflasi yang bagus untuk pertumbuhan nominal,"

Lee mengatakan kenaikan ekspektasi inflasi berdampak pada imbal hasil, namun indeks pengeluaran konsumsi pribadi, yang jadi fokus the Fed, hanya naik 1,5%, setengah persen di bawah target the Fed.

"Suku bunga naik, tapi bukan karena the Fed, pada dasarnya kita bergerak menjauh dari suku bunga negatif. Memperkirakan suku bunga yang lebih tinggi bukanlah hal yang buruk," katanya.

Sementara itu, Goldman Sachs Group Inc memprediksi koreksi bursa saham global akan terjadi, namun mengatakan bahwa pelemahan tersebut akan menjadi peluang investor untuk membeli saham.

Dilanporkan Bloomberg, Tim Analis Goldman Sachs mengatakan harga saham global akan melemah 10% hingga 20% dalam beberapa bulan mendatang. Indikator minat risiko Goldman mendekati rekor tertinggi, mengindikasikan kenaikan tajam pada optimisme investor, sementara pelaku pasar tampaknya berpuas diri mengenai risiko politik seperti pemilihan nasional Italia.

Namun, risiko pasar saham yang bearish masih kecil, karena pertumbuhan global yang kuat dan sinkron memberikan alasan untuk tetap bullish.

"Kami tidak percaya bahwa ini akan berkepanjangan atau berubah menjadi pasar yang bearish," kata tim analis, termasuk Peter Oppenheimer dalam riset mereka, seperti dikutip Bloomberg.

"Secara historis, ada banyak contoh koreksi yang berumur pendek dan tidak berubah menjadi pasar bearish berlebih yang biasanya terkait dengan kelemahan ekonomi," lanjut mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fajar Sidik

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper