Bisnis.com, JAKARTA—Rencana regulator untuk merilis aturan tentang batas penjatahan saham antara investor ritel dan institusi dalam gelaran penawaran umum perdana saham harus tetap memperhatikan kemampuan investor ritel untuk menyerap emisi emiten.
Samsul Hidayat, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, mengatakan bahwa Bursa Efek Indonesia bersama OJK saat ini tengah mengkaji penjatahan saham dalam initial public offering/IPO antara fix allotment atau penjatahan pasti untuk investor institusi dan pooling allotment atau penjatahan terpusat untuk investor ritel.
Selama ini, tuturnya, tidak ada aturan yang mengatur tentang itu sehingga sering terjadi porsi fix allotment lebih tinggi dari pooling allotment, atau porsi investor institusi lebih tinggi dari investor ritel.
Hal ini menyebabkan saham emiten menjadi kurang likuid di pasar sekunder karena investor institusi umumnya jarang aktif mentransaksikan sahamnya di pasar sekunder.
Penggerak pasar lebih banyak adalah investor ritel, sehingga ketika porsi saham mereka minim transaksi saham emiten tersebut menjadi lebih terbatas atau kurang likuid. Pembentukan harga di pasar pun menjadi kurang efektif karena terbatasnya pergerakan transaksi harian.
Samsul mengatakan, rencananya dalam aturan baru tersebut porsi alokasi untuk ritel akan lebih tinggi dibandingkan investor institusi sehingga menjamin likuditas saham emiten nantinya.
Baca Juga
“Nanti alokasinya kita coba perbaiki dengan aturan OJK. Sekarang porsinya tidak diatur, lebih banyak fix. Idealnya di beberapa negara cukup besar [pooling allotment] ada 5% hingga 10% [dari jumlah saham baru yang dilepas]. Kita belum ada aturan main,” ungkapnya, Selasa (5/12/2017).
Samsul mengatakan, selama ini porsi untuk investor institusi cenderung lebih tinggi sebab underwriter ingin memastikan saham yang dilepas itu terserap dan nilai yang dijamin oleh underwriter menjadi sedikit.
Menanggapi hal tersebut, pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan bahwa pada prinsipnya tujuan aturan tersebut positif untuk menjamin likudiitas pasar.
Hanya saja, pemerintah perlu benar-benar mengatur mekanismenya agar jangan sampai merugikan emiten. Pasalnya, likuiditas atau ketersediaan dana dari investor ritel umumnya jauh lebih terbatas dibandingkan investor institusi. Bila nilai emisi emiten saat IPO sangat tinggi sementara penjatahan untuk investor ritel terlalu besar, ada potensi emisi tidak terserap maksimal.
“Saya pernah meneliti tentang ini, dana investor institusi dari total free float itu bisa mencapai 85%-90%. Investor ritel dari segi jumlahnya bisa paling banyak, sekitar 80%-90% dari total jumlah investor, tetapi dari segi jumlah dana justru terbalik, bisa hanya 10% atau kurang,” ungkapnya.
Menurutnya, aturan ini perlu diterapkan secara bertahap hingga mencapai titik keseimbangan baru yang cukup solid.