Bisnis.com, JAKARTA--Rencana OJK untuk menerbitkan tiga regulasi baru tentang penerbitan obligasi oleh pemerintah daerah masih akan menghadapi sejumlah tantangan.
OJK tengah mematangkan tiga draft peraturan yang mengatur tentang penerbitan obligasi atau sukuk daerah. Saat ini, ketiga draft regulasi itu tengah dalam tahap permintaan tanggapan masyarakat.
Tiga beleid tersebut terdiri dari Peraturan OJK yang mengatur tentang dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum, lalu tentang laporan dan pengumuman, serta tentang bentuk dan isi prospektus obligasi atau sukuk daerah.
Aturan soal penerbitan obligasi atau sukuk daerah terakhir tertuang dalam Peraturan XI.C.12, lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-692/BL/2011. Namun, enam tahun berselang, belum ada satu daerah pun yang menerbitkan instrumen surat utang tersebut.
I Made Adi Saputra, analis obligasi MNC Sekuritas, mengatakan bahwa tantangan penerbitan obligasi atau sukuk daerah selama ini lebih banyak berupa masalah teknis. Kelembagaan daerah tidak sebaik pemerintah pusat untuk penerbitan obligasi.
Pemerintah pusat memiliki Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) yang berada di bawah Kementerian Keuangan dan bertugas mengatur seluruh aspek teknis terkait penerbitan dan pengelolaan surat berharga negara (SBN).
Baca Juga
Pergantian pejabat kementerian keuangan maupun presiden tidak serta merta mengancam keberlanjutan dari pengelolaan surat utang negara sebab dijamin oleh peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, belum ada struktur setara di daerah yang dijamin undang-undang. Pergatian gubernur, bupati atau wali kota yang adalah pejabat politik sangat rentan mengancam keberlanjutan pengelolaan obligasi daerah.
Dirinya memaklumi bahwa tujuan pemerintah mendorong daerah untuk menerbitkan obligasi secara mandiri adalah untuk mengurangi beban anggaran pemerintah pusat.
Namun, rentannya pengelolaan keuangan daerah patut diwaspadai. Sudah banyak pengalaman di luar negeri tentang daerah yang gagal bayar terhadap surat utangnya sehingga merugikan negara dan investor.
Adanya regulasi baru yang mengatur tentang penerbitan obligasi daerah pun tidak serta-merta menjamin sukses penerbitannya.
Masih ada isu persepsi investor yang cenderung negatif terhadap kebanyakan daerah dan ketidaksiapan daerah untuk besikap transparan tentang keuangannya.
“Masalahnya akan lebih pada soal kepercayaan pada pemda, yang mana tidak terlalu percaya juga. GCG daerah juga masih diragukan, karena kebanyakan yang masuk KPK juga dari pemda. Persepsi itu yang harus dipulihkan,” katanya saat dihubungi Bisnis melalui sambungan telepon, Rabu (13/9/2017).
Budi Frensidy, Pengamat Pasar Modal Universitas Indonesia, menilai belum ada kebutuhan mendesak bagi daerah untuk menerbitkan obligasi, mengingat cukup banyak daerah yang belum mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah selama ini. Dana alokasi dari pemerintah pusat pun sering berlebih dan hanya diparkir di bank.
Ketidakmampuan daerah mengoptimalkan anggaran dan mengelola modal justru akan menambah risiko bagi pemerintah pusat bila mereka menerbitkan obligasi tetapi lantas gagal bayar. Pasalnya, pemerintah pusat terpaksa harus melakukan bailout bila hal itu terjadi.
“Belum lagi daerah harus dituntut untuk benar-benar profesional seperti korporasi pada umumnya. Kalaupun dapat rating bagus, itu pun kita tahu sering kali hanya kongkalikong atau hasil melobi para pemeriksa yang dari pusat,” katanya.