Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah dunia kembali mendekati US$40 per barel, tetapi pengebor minyak shale oil di Amerika Serikat tak gentar dan terus semangat mengebor bebatuan demi mendapatkan barel-barel minyak lebih banyak lagi. Mengapa mereka berani mengebor minyak meskipun tengah berada di harga rendah?
Dari data Energy Information Administration (EIA), produksi shale oil Amerika Serikat (AS) sampai (16/6/2017) melonjak ke level tertinggi sejak Juli 2015 yakni sebesar 9,35 juta barel per hari. Kenaikan produksi itu terjadi di tengah penguasa pasar minyak mentah Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dalam fase pemangkasan produksi.
Usut punya usut, keberanian pengebor shale oil di AS di tengah harga rendah karena menggunakan teknologi sensor dalam aktivitasnya. Dengan teknologi itu, mereka disebut bisa hemat hingga bermiliar-miliar dolar AS.
Dengan teknologi sensor itu, para pengebor shale oil tidak perlu resah dengan pemadaman listrik, tetap bisa mengelola persediaan, dan bisa mengidentifikasi potensi bahaya sehingga bisa lebih menjaga keselamatan.
Sensor sederhana itu juga disebut membuat perusahaan bisa lebih efisiensi pada biaya operasional untuk pegawai. Dengan keberadaan sensor itu, perusahaan minyak tidak perlu mengirimkan pegawai ke tempat rig atau produksi untuk mengumpulkan data lagi.
ConocoPhillips, yang menjadi salah satu pengguna sensor itu menyebutkan, dengan menyebar sensor di setiap sumur ladang shale oil bisa membantu efisiensi hampir separuh waktu pengeboran. Perusahaan minyak itu sudah menjajal teknologi itu dalam pengeboran shale oil di Eagle Ford, Texas Selatan.
Seperti dilansir Reuters pada Sabtu (24/6/2017), Wakil Presiden Eksekutif ConocoPhillips Matt Fox mengatakan, dengan membandingkan data yang terdapat pada ratusan sensor di berbagai sumur minyak, program secara otomatis menyesuaikan bobot dan kecepat bor sehingga mempercepat keluarnya minyak.
“Dari sebuah aplikasi dan sensor kecil ini, kami bisa melakukan pengeboran pada 3.000 sumur dengan efisiensi hingga miliaran dolar AS. Kami sudah menggunakan analisis data dan aplikasi itu di Eagle Ford,” ujarnya.
Untuk biaya teknologi sensor dan aplikasinya disebut bervariasi, kalau yang digunakan ConocoPhillips disebut membeli campuran program dan custom serta menggunakan visualisasi paket data Spotfire Tibco Software Inc. Untuk analisis informasi sumur-sumur ladang minyak.
Sayangnya, Tibco enggan membeberkan berapa biaya yang dikeluarkan ConocoPhillips maupun perusahaan minyak yang mengebor shale oil di AS lainnya untuk teknologi tersebut.
Pengawas Digital Produk GE Oil & Gas Binu Matthew mengatakan, ketika harga minyak masih berada di kisaran US$100, analisis data dan teknologi seperti ini dianggap belum terlalu dibutuhkan oleh para pengebor minyak.
“Namun, ketika harga minyak anjlok hingga ke US$26, aspek efisiensi menjadi penting dan perhatian utama,” ujarnya.
Dalam survey Ernst & Young pada tahun lalu telah meneliti dari total 75% perusahaan minyak dan gas, sebanyak 68% telah berinvestasi pengembangan data analisis dalam dua tahun terakhir dengan total nilai mencapai US$100 juta.
Dengan begitu, pantas perusahaan minyak yang mengebor shale oil tetap percaya diri bisa mendapatkan cuan walaupun harga minyak dunia sedang kembali merosot menuju US$40 per barel.
Sepanjang bulan ini, harga minyak Brent sudah menyusut sebesar 9,2% menjadi US$45,68 per barel, sedangkan harga minyak WTI turun sebesar 10,98% menjadi US$43,01 per barel. Kondisi ini mengingatkan kejatuhan harga minyak pada periode 2014-2016 yang menyusut hingga kisaran US$26 per barel.