Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DIRE Masih Menantang

Sejumlah pengembang menilai pasar investasi properti umumnya belum sepenuhnya pulih dan masih akan bergerak lambat sebelum mencapai kinerja yang optimal untuk dapat dilepaskan ke dalam dana investasi real estate atau DIRE
Ilustrasi./.
Ilustrasi./.

JAKARTA— Sejumlah pengembang menilai pasar investasi properti umumnya belum sepenuhnya pulih dan masih akan bergerak lambat sebelum mencapai kinerja yang optimal untuk dapat dilepaskan ke dalam dana investasi real estate atau DIRE.

Direktur Pengembangan Investasi dan Modal PT Intiland Development Tbk. (DILD) Archied Noto Pradono mengatakan, instrumen investasi DIRE baru akan menarik dibandingkan instrumen investasi lainnya bila mampu memberikan imbal hasil yang cukup tinggi di atas rata-rata deposito, surat utang atau obligasi.

Kenyataannya, return dari kebanyakan properti investasi yang menjadi aset DIRE belum mampu memenuhi harapan tersebut. Alhasil, yield DIRE yang akan diterbitkan oleh manajer investasi tidak benar-benar mencerminkan kinerja riil properti yang menjadi aset dasarnya.

Menurutnya, isu pajak saat ini sudah tidak terlalu menjadi topik kekhawatiran pengembang untuk menerbitkan DIRE setelah pemerintah memangkas PPh DIRE menjadi hanya 0,5%. Meskipun begitu, pemerintah daerah sejauh ini kebanyakan belum setuju untuk memangkas tarif BPHTB bagi pengalihan aset DIRE.

“Sekarang masalahnya apakah nilainya itu sudah mencerminkan nilai yang fair antara investor dan emiten atau belum? Karena investor minta yield-nya di 8% sampai 10%, padahal sebenarnya aktual nilainya tidak segitu,” katanya, Selasa (23/2).

Menurutnya, rata-rata yield dari penyewaan properti investasi hanya berkisar pada 6% hingga 7%, itu pun sudah sangat bagus. Saat ini, nilai riil yield justru lebih rendah akibat persaingan harga sewa karena kelebihan pasokan di antara properti investasi.

Alhasil, tuturnya, instrumen DIRE tidak lain hanyalah salah satu alternatif pembiayaan dengan basis penyewaan gedung dan yield yang disesuaikan dengan permintaan pasar. Bila yield yang dihasilkan tidak sesuai harapan, pihak penerbit terpaksa harus berkorban untuk menutupi kekurangannya.

“Kalau dipaksa untuk mencapai permintaan yield yang tinggi, terpaksa sacrifice-nya harga asetnya harus lebih turun. Nah, di sini ada pengembang yang rela, ada yang tidak. Jadi, menurut saya DIRE saat ini belum fair bagi investor dan emitennya,” katanya.

Menurutnya, Intiland belum mempertimbangkan opsi DIRE setidaknya tiga tahun ke depan. Kebutuhan pendanaan perseroan masih akan dipenuhi melalui opsi obligasi atau pinjaman bank.

Meski begitu, dirinya tidak menutup kemungkinan suatu saat DILD akan masuk dalam instrumen tersebut bila pasar membaik. Akan tetapi, di tengah rezim suku bunga yang sudah di titik terendah dan cenderung akan kembali meningkat, instrumen DIRE masih kurang menarik.

Anton Sitorus, Kepala Departemen Riset dan Konsultasi Savills Indonesia mengatakan, saat ini yield investasi properti sedang berada di titik terendahnya. Hal ini akan menyebabkan pengembang akan berpikir berkali-kali sebelum menerbitkan DIRE.

Saat ini, tingkat kekosongan perkantoran di CBD Jakarta mencapai 17%. Tahun lalu, permintaan baru bersih terhadap ruang perkantoran hanya 20.000 m2, sementara pasokan baru mencapai hampir 300.000 m2.

Menurut perkiraan Savills, hingga 2020, tingkat kekosongan akan mencapai 25%. Tingkat kekosongan yang tinggi memacu perang harga. Rata-rata harga sewa kantor sejak akhir 2014 terus turun dan diperkirakan baru akan mulai naik di 2020, itu pun berdasarkan skenario optimistik.

“Dengan kondisi pasar properti seperti saat ini, agak susah untuk berharap banyak pengembang terbitkan DIRE karena otomatis yield-nya akan rendah. Jika yield rendah, investor akan bandingkan dengan instrumen lain dan kemungkinan tidak akan tertarik,” katanya, Kamis (23/2).

Kondisi serupa dialami juga segmen lainnya seperti pusat perbelanjaan, hotel dan apartemen servis. Kelebihan pasokan tidak diimbangi permintaan yang kuat, terutama akibat kondisi perekonomian global yang melemah.

Menurut riset Colliers International Indonesia, hingga akhir tahun lalu, okupansi ritel Jakarta berada di kisaran 85,4%, hotel di bawah 60%, dan apartemen servis 72%. Di Surabaya, rata-rata okupansi kantor turun 12% sepanjang tahun lalu dan kini berada di 75,1%, apartemen sewa 60%, ritel 83%, dan hotel 58,7%.

Hermawan Wijaya, Direktur PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE) mengatakan, saat ini perseroan masih mempelajari potensi untuk menerbitkan DIRE, melihat sudah ada pengembang lokal yang serius memanfaatkan instrumen ini.

Menurutnya, BSDE memiliki sejumlah aset potensial yang bisa dilepas dalam instrumen DIRE, misalnya seperti mal dan perkantoran di BSD City. Pendapatan BSDE dari properti investasi tahun lalu diperkirakan mencapai Rp1,1 triliun dan ditargetkan mencapai Rp1,3 triliun tahun ini. Namun, dirinya menilai masih butuh waktu yang panjang bagi BSDE untuk merambah instrumen tersebut.

“Saya pikir ini cara monetisasi aset untuk mendapatkan funding. Kita akan lihat dan studi lebih lanjut lagi, tetapi pasti tidak dalam waktu dekat,” katanya.

PT Ciputra Development Tbk. (CTRA) juga menyatakan minat penerbitan DIRE, tetapi mengaku masih menunggu tingkat imbal hasil yang menarik serta kejelasan pemangkasan BPHTB oleh pemda yang saat ini masih di kisaran 5%.

Direktur Keuangan Ciputra Development, Tulus Santoso menilai imbal hasil dari properti investasi yang dilepas tidak akan menarik bagi investor selama imbal hasil surat utang negara (SUN) tenor sepuluh tahun masih bertengger di level 7%.

“Kalau SUN 6% mungkin bisa jalan, [aset] yang di bawah Ciputra Property itu sudah siap [dilepas],” jelasnya.

Tulus menjelaskan, imbal hasil properti investasi yang akan dilepas ke investor sulit melampaui 10%. Pasalnya, pendapatan sewa tidak bisa mengejar kenaikan harga tanah. Oleh karena itu, dia memperkirakan imbal hasil dari pendapatan properti investasi paling tinggi mencapai 7%.

Menurutnya, CTRA akan memprioritaskan aset pusat perbelanjaan dibandingkan dengan perkantoran untuk dilepas ke dalam DIRE, mengingat persaingan bisnis kantor relatif lebih sengit saat ini. Sementara itu, sejumlah ritel CTRA masih mencatatkan tingkat okupansi di atas 95%, seperti  Mal Ciputra Jakarta dan Mal Ciputra Semarang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bisnis Indonesia (27/2/2017)

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper