Bisnis.com, JAKARTA -- Pernyataan Perdana Menteri Theresia May soal kepastian kapan Inggris keluar dari Uni Eropa atau British Exit (Brexit) menjawab pertanyaan besar bagi kalangan investor. Hal ini merupakan tindak lanjut nyata, setelah Britania Raya melakukan referendum pada 23 Juni silam.
Hasil pemungutan suara yang menunjukkan kubu Brexit unggul tipis terhadap Bremain (british remain), yakni 51,9% berbanding 48,1% sempat menimbulkan spekulasi adanya referendum ulang. Apalagi, May yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri berada dalam kubu bremain.
Namun, harapan pasar dunia --yang memang lebih memilih bremain-- sirna. Akhir pekan kemarin dalam rapat Partai Konservatif, May berjanji mengaktifkan Pasal 50 dalam Perjanjian Lisbon tentang Uni Eropa selambat-lambatnya pada kuartal I/2017.
Meskipun demikian, membutuhkan waktu dua tahun proses negosiasi sampai Inggris benar-benar lepas dari Uni Eropa. Keputusan ini terbilang mengejutkan pasar, karena May mengatakan belum akan mengaktifkan Pasal 50 pada 2016.
Pernyataan May menimbulkan fenomena baru yang langsung menyedot perhatian dunia, dan belakangan disebut sebagai Hard Brexit.
Sayangnya, nada Hard Brexit terdengar sangat sumbang bagi mata uang pound sterling. Pada perdagangan kemarin pukul 19:00 WIB, nilai GBP merosot 1,98% menuju 1,2364 per dolar AS.
Artinya, nilai GBP sudah terkoreksi 16,16% sepanjang tahun berjalan. Angka tersebut menunjukkan level terendah sejak Maret 1985
Agus Chandra, Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, mengatakan harga pound sterling masih sangat tertekan akibat Hard Brexit, sehingga proyeksinya ke depan masih buram. Menurutnya, nilai pound hingga akhir 2016 tidak akan mencapai 1,31 per dolar AS.
Membaiknya data ekonomi Inggris sekalipun belum bisa menaikkan sentimen GBP, karena pasar lebih mengarahkan pandangan kepada dampak brexit. Setidaknya, ada tiga data PMI (Purchasing Managers' Indexes) yang dirilis pekan ini.
Markit PMI Manufacturing Inggris periode September naik ke 55,4 dari bulan sebelumnya 53,3 dan melebihi konsensus 52,1. Adapun PMI sector jasa meningkat ke 52,9 dibandingkan bulan lalu di level 47,4.
Namun, data terakhir yang keluar kemarin, PMI sektor manufaktur juga menurun dari 0,2%, menjadi 0,9%.
“Meski data ekonomi Inggris tetap terbilang positif. Namun, outlook GBP masih negatif karena faktor Hard Brexit,” tutur Agus.
Pada perdagangan kemarin, pasar juga dikagetkan oleh harga GBP yang anjlok 6% dalam rentang waktu 2 menit. Menurut Agus hal ini terjadi karena kerusakan sistem algoritma perdagangan.
Ke depannya, peluang pound untuk menguat juga tertahan oleh proyeksi pengerekan suku bunga Federal Reserve pada Desember, sehingga menguatkan dolar AS.
Wahyu Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures, menyampaikan pound sterling kembali melanjutkan tren bearish karena kecemasan investor atas dampak Hard Brexit, sehingga memicu gelombang penjualan. Secara teknikal, hingga akhir tahun ini harga GBP bisa semakin anjlok ke posisi 1,2 per dolar AS, meskipun ada daya tarik kuat di kisaran 1,25 per dolar AS.
“Harga bisa saja kembali ke 1,3 per dolar AS, tapi itu target yang optimistis. Saat ini level kuat ya 1,25 per dolar AS,” tuturnya.
Jameel Ahmad, VP of Market Research FXTM memaparkan, alasan GBP semakin melemah adalah karena sejauh ini nilai tukarnya hanya merefleksikan hasil referendum 23 Juni. Pemerintah Inggris masih harus memulai proses pelaksanaan keinginan pemilih untuk keluar dari Uni Eropa dan implikasi dari proses ini tentu berpotensi memengaruhi sentimen investor.
“Masih ada begitu banyak hal yang belum kita ketahui tentang apa yang akan terjadi dengan proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa di masa mendatang. Artinya,begitu banyak risiko yang harus diperhitungkan oleh investor,” jelasnya.
Secara teknikal, Jameel berpendapat secara realistis pasangan GBP—USD dapat menyentuh level antara 1,20 dan 1,25 per dolar AS pada akhir 2016.
Hard Brexit Bikin Pound Sakit
Pernyataan Perdana Menteri Theresia May soal kepastian kapan Inggris keluar dari Uni Eropa atau British Exit (Brexit) menjawab pertanyaan besar bagi kalangan investor. Hal ini merupakan tindak lanjut nyata, setelah Britania Raya melakukan referendum pada 23 Juni silam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Hafiyyan
Editor : Setyardi Widodo
Topik
Konten Premium