Bisnis.com, JAKARTA - Belum selesai diadang depresiasi rupiah, PT Kalbe Farma Tbk. kembali diuji kasus penarikan dua jenis obat bius milik perseroan. Buntutnya, saham KLBF yang sedang dalam tren positif langsung terjerembab tidak lama setelah kasus tersebut mencuat ke permukaan. Bagaimana prospek saham penguasa industri farmasi tersebut?
Penarikan obat yang beredar di masyarakat sebenarnya bukan barang baru. Pertengahan tahun lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan juga menarik 130 jenis obat yang mengandung dextromethorpan dari pasaran. Obat ini disinyalir sering disalahgunakan sebagai pengganti narkotika.
Berbeda dengan kasus dextromethorpan yang melibatkan puluhan perusahaan farmasi, penarikan obat anestasi batch Buvanest Spinal 0,5% Heavy 4 ml dan Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml batch no.629668 dan 630025 ini dipikul sendiri oleh Kalbe Farma. Kedua obat ini disinyalir menjadi penyebab meninggalnya dua orang pasien Rumah Sakit Siloam Tangerang pada 12 Februari 2015.
Direktur Keuangan Kalbe Farma Vidjongtius mengaku masih fokus pada penyelesaian kasus tersebut dan menunggu hasil investigasi BPOM. Menurutnya, aktivitas penarikan ini bukan perkara mudah. Kedua obat bermasalah tersebut telah didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang menjadi mitra Kalbe di seluruh Indonesia.
“Proses penarikannya masih terus berjalan sehingga belum bisa dihitung berapa besar dampaknya,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (24/2/2015).
Kendati sudah melakukan penarikan obat secara sukarela, kasus ini mendapatkan respons luas dari segala kalangan. BPOM langsung menginstruksikan pembekuaan produksi dan izin edar kedua obat tersebut. Tidak hanya sampai disitu, aktivitas di fasilitas produksi larutan injeksi volume kecil nonbetalaktam (Lini 6) juga dihentikan oleh BPOM Bandung.
Kepala BPOM Roy Alexander Sparringa mengatakan penerapan cara pembuatan obat yang baik (CPOB) yang dilakukan oleh Kalbe tidak sepenuhnya seperti yang diharapkan. Dari peninjauan awal, lembaga ini melihat ada potensi mix up dalam aktivitas produksi Kalbe Farma.
Tidak hanya BPOM, Legislatif juga bereaksi keras dengan memanggil jajaran direksi Kalbe Farma dan RS Siloam pada Rabu (18/2). Dewan Perwakilan Rakyat melalui Komisi IX pun membentuk panja pengawasan guna menelusuri kasus tersebut. Analisa awal menyebutkan obat anestasi Buvanest milik KLBF tersebut tertukar dengan cairan pembeku darah.
Lantas bagaimana respons investor? Sebelum kasus ini mencuat ke permukaan, saham KLBF sebenarnya berada di tren positif. Secara year to date sejak 2 Januari 2015-13 Februari 2015 harga saham perseroan naik 2,97%. Sedangkan secara year on year sejak 13 Februari 2014 saham Kalbe telah tumbuh 16,57% dari sebelumnya hanya Rp1.390 ke 1.870 pada 13 Februari 2015.
Pada 23 Januari 2015, harga saham KLBF di tutup di level 1.880 atau pencapain tertinggi setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Setelah bergerak volatile beberapa hari selanjutnya, saham Kalbe Farma akhirnya ditutup di level Rp1.870 pada 13 Februari 2015, tepat sehari setelah dua orang pasien RS Siloam Tangerang meninggal dunia.
Antiklimaks kinerja saham Kalbe mulai terlihat di awal pekan ketiga bulan ini. Bertepatan dengan pengumuman penarikan dua obat anestasi kepada Bursa Efek Indonesia pada 16 Februari 2015, investor seperti berlomba melepas koleksinya di perusahaan milik keluarga Boenjamin Setiawan ini. Tak pelak, saham KLBF pun ditutup anjlok 3,74% atau 70 poin ke level Rp1.800 per lembar. Saham perseroan memang sempat menguat pada hari berikutnya di level Rp1.810 sebelum kembali merosot sampai Senin (23/2).
Tidak hanya saham KLBF yang ambruk, saham milik PT Siloam International Hospital Tbk. yang menjadi tempat kejadian perkara juga merosot. Pada 16 Februari 2015 saham emiten berkode SILO ini turun 1,16% ke level Rp12.225. Sampai hari ini pun saham anggota Grup Lippo ini belum mampu naik ke posisi di 13 Februari 2015 yang mencapai Rp12.400.
Vanessa Ariati Tanuwijaya, Analis PT Mandiri Sekuritas mengatakan saham Kalbe Farma ini rentan diwarnai aksi profit taking dalam jangka pendek. Apalagi menurutya, valuasi harga saham perseroan sudah terlalu mahal.
“Saat ini KLBF menghadapi risiko reputasi dan potensi penuntutan hukum akibat salah kemasan (mislabeling) obat yang menyebabkan dua kematian pasien,” katanya dalam risetnya, Jumat (20/2/2015).
Menurut Vanessa, pernyataan dari BPOM yang menunjukkan kesalahan KLBF akan memicu reaksi negatif dari pasar. Saham perseroan berpotensi besar ditransaksikan dengan tekanan sell.
Sementara itu, Analis PT Danareksa Sekuritas Armando Marulitua mengungkapkan dampak penarikan kedua obat bius terhadap kinerja Kalbe Farma tidak akan terlalu signifikan.
Pasalnya, lini bisnis ini diperkirakan hanya menyumbang sekitar 1% terhadap pendapatan Kalbe dari lini bisnis obat resep yang diperkirakan mencapai Rp4,32 triliun pada 2014. Kendati demikian, risiko penurunan harga saham diperkirakan masih bisa terjadi.
Armando pun merevisi rekomendasinya terhadap saham Kalbe dari ‘buy’ pada 14 November 2014 menjadi ‘hold’ akibat kasus tersebut. Namun, target price yang dipatok Danareksa Sekuritas tetap tidak berubah di level Rp1.900.
Armando beralasan bahwa kinerja keuangan Kalbe 2014 yang belum diaudit menunjukkan performa bagus. Perseroan berhasil membukukan pendapatan Rp17,5 triliun dengan laba bersih Rp2,1 triliun pada tahun lalu. Ini sejalan dengan ekspektasi analis sehingga saham Kalbe dinilai masih menguntungkan dalam jangka panjang.
Analis PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adie Joe juga punya pendapat serupa. Dia pun menyarankan investor menghindari saham Kalbe untuk sementara waktu. Pasalnya, bukan tidak mungkin perseroan akan diberikan sanksi berupa denda, penghentian aktivitas produksi hingga tuntutan hukum jika terbukti bersalah.
“Kasusnya agak berat karena urusannya dengan nyawa manusia,” katanya.
Berkaca dari kasus tersebut, kontribusi obat bius terhadap pendapatan Kalbe boleh jadi tidak seberapa. Namun, kasus yang melibatkan nyawa manusia akan menjadi katalis negatif terhadap harga saham yang rentan oleh sentimen. Masihkah Anda tertarik mengoleksi saham Kalbe? []