Bisnis.com, JAKARTA--Kerugian yang diderita oleh sejumlah perusahaan pelat merah akibat depresiasi rupiah membuat pemerintah membatasi utang luar negeri perusahaan persero khususnya bagi emiten.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Mariani Soemarno mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, banyak emiten BUMN yang melakukan pinjaman dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Emiten-emiten itu dinilai tidak memperhatikan bahwa pendapatan mereka dalam bentuk rupiah.
Dia menilai, keputusan emiten BUMN untuk berutang dalam dolar AS sebagai risiko manajemen yang kurang prudent. Hal itu menjadi sorotan paling utama bagi Rini sejak dirinya dilantik sebagai Menteri BUMN.
Perusahaan BUMN berpendapatan rupiah dinilai terlalu berani mengambil pinjaman dalam dolar AS karena alasan suku bunga valuta asing lebih murah ketimbang di dalam negeri. Namun, bunga valas yang sangat murah itu tidak memperhatikan fluktuasi nilai tukar.
Bila dilihat dari fluktuasi nilai tukar, suku bunga yang murah justru tergerus dan menyebabkan beban bagi neraca keuangan perseroan. Akhirnya, pelemahan nilai tukar yang begitu besar dalam setahun terakhir membuat kerugian emiten BUMN juga meningkat.
Untuk itu, ke depan, Rini akan membatasi utang valas bagi perusahaan BUMN termasuk emiten BUMN. Risiko yang diambil untuk pendapatan dalam satu nilai tukar rupiah dengan utang di nilai tukar dolar AS tidak boleh lebih dari 100%.
"Kalau mau ambil risiko utang, mungkin 10%-20% saja," ungkapnya, Senin (1/12/2014).
Dia menjelaskan, utang valas perusahaan BUMN sangat besar. Bahkan, catatan Kementerian BUMN, terdapat perusahaan milik pemerintah yang memiliki utang mencapai 100% berdenominasi dolar AS.
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., misalnya yang memiliki utang hampir 90% berdenominasi dolar AS. Padahal, pendapatan emiten berkode saham GIAA itu hanya 30% berdenominasi dolar AS, dan 70% pendapatan berbentuk rupiah.
Terbaru, PT Pertamina (Persero) meraih pinjaman valas dari 12 sindikasi perbankan asing dengan nilai US$1,8 miliar. Per semester I/2014, utang jangka panjang Pertamina mencapai US$8,68 miliar, melonjak 21,15% dari periode yang sama tahun sebelumnya US$7,185 miliar.