Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Global Justice -organisasi nirlaba yang fokus pada isu liberalisasi perdagangan- mengkritik pembagian dividen PT HM Sampoerna.
Produsen rokok itu membagikan dividen pada pekan lalu. Dalam keterangan persnya, IGJ menilai pembagian dividen itu hanya menguntungkan PT Phillip Morris Indonesia, sebagai pemegang saham terbesar di HM Sampoerna Tbk.
Seperti diketahui, Philip Morris saat ini memegang saham HM Sampoerna 98,18%. Dengan pembagian dividen tunai sebesar Rp 9,95 triliun atau Rp2.269 per lembar saham dari laba bersih tahun buku 2012, sebagian besar mengalir ke kas Philip Morris.
"Dari seluruh laba kita pada tahun 2012, 100 persen dibagikan kepada pemegang saham, tidak ada laba yang ditahan," kata Humas HM Sampoerna Mochamad Tommy Hersyaputera, di Surabaya, beberapa waktu lalu lalu.
Peneliti IGJ Salamudin Daeng menghitung dividen yang diterima Philip Moris dari pabrik rokok terbesar di Indonesia itu, tidak sebanding dengan investasi yang ditanamkan perusahaan rokok asal Negeri Barack Obama itu.
Sejak bercokol di Indonesia pada 2005 silam, Philip Morris hanya menginvestasikan duitnya di industri rokok nasional sebesar US$ 400 juta. Atau kalau dirupiahkan rata-rata hanya Rp550 miliar per tahun di kurs Rp11.000 per US$.
"Secara logika ekonomi, jika memang berkomitmen dalam pembangunan ekonomi Indonesia, perusahaan asing harus melakukan reinvestasi. Sementara sekarang ini lalu lintas transfer keuntungan perusahaan asing sangat bebas," ujar Salamudin yang juga aktif di Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia ini.
Salamudin menambahkan dengan melakukan reinvestasi, maka akan tercipta modal bergulir yang pada akhirnya juga mendorong ekonomi. Sementara sekarang ini, dengan rezim devisa bebas, perusahaan asing bisa seenaknya melakukan transfer setiap ada keuntungan. Padahal, jika tidak diatur, ujung-ujungnya bisa membuat capital outflow sehingga bisa menjadi defisit.
"Jangan lupa, uang dari hasil keuntungan itu bersumber dari ekonomi Indonesia sehingga tidak bisa lari semuanya,harus ada reinvestasi pada sektor lain yang menyerap tenaga kerja membangun industri," tegasnya.
Yang mendesak diatur, kata Salamudin, juga harus bisa dilacak keuntungan yang didapat dari ekonomi Indonesia itu, kemudian dilarikan ke luar negeri, digunakan untuk apa saja.
Negara, tegas Salamudin, harus segera membuat regulasi bahwa perusahaan yang dapat keuntungan besar melakukan reinvestasi karena jika tidak diatur bisa terjadi capital outflow.
Hal lain yang juga harus diperhatikan, perusahaan asing juga harus komitmen memperbaiki upah buruh, harga pembelian tembakau di tingkat petani, juga menghentikan praktik alih daya. "Itu hal normatif dan mendesak, sesuatu yang tidak diatur norma, harus dijalankan oleh perusahaan yang untung besar," tandasnya.
Ironisnya, di tengah pendapatan dividen yang sedemikian besar, Philip Morris justru menutup dua pabriknya di Jember dan Lumajang yang memproduksi sigaret kretek tangan (SKT) dan mem-PHK 4.900 buruhnya.