Bisnis.com, JAKARTA—PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG) berencana menarik pinjaman sekitar US$56 juta ekuivalen dengan Rp644 miliar untuk memenuhi belanja modal (capital expenditure/capex) yang dialokasikan sebesar US$80 juta (Rp920 miliar).
Wakil Direktur Utama Dharma Satya Andrianto Oetomo menuturkan pihaknya telah memperoleh komitmen pinjaman dari PT Bank Central Asia Tbk. dengan plafon lebih dari Rp2 triliun.
Pada akhir tahun lalu, perseroan telah menarik pinjaman sebesar Rp475 miliar dari total plafon untuk pengembangan bisnis perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit, perkayuan, dan hutan.
“Berhubung dana IPO [initial public offering] telah habis, kami akan maksimalkan ekspansi tahun ini dari pinjaman dan kas internal,” tuturnya di sela-sela paparan publik, Kamis (8/5/2014).
Sebagai informasi, perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 14 Juni tahun lalu itu memperoleh dana segar Rp508,75 miliar dari penawaran umum perdana saham. Dana tersebut sudah digunakan untuk ekspansi tahun lalu dan sebagian di tahun ini.
Menurut Andrianto, Dharma Satya akan terlebih dahulu memaksimalkan kas internal untuk pengembangan usaha tahun ini. Per 31 Maret 2014, kas dan setara kas perseroan tercatat sebesar Rp269,73 miliar.
Dari laporan keuangan kuartal I/2014, perseroan mengalami defisit modal kerja sebesar Rp309,21 miliar. Perseroan dan entitas anak memiliki fasilitas pinjaman modal kerja yang belum terpakai yang seluruhnya berjumlah US$10,79 juta dan Rp443,95 miliar.
“Penarikan pinjaman itu akan dilakukan pada akhir-akhir tahun ini, tepatnya saat kas internal mulai menipis,” tuturnya.
Meski akan mengoptimalkan kas internal, itu hanya berkontribusi 30% dari total alokasi belanja modal karena 70% belanja modal akan bersumber dari pinjaman bank.
Andrianto menjelaskan belanja modal US$80 juta itu akan dialokasikan untuk penanaman baru 10.000 hektare, pembangunan infrastruktur, dan menuntaskan pembangunan dua pabrik crude palm oil (CPO) yang berkapasitas masing-masing 60 ton tandan buah segar (TBS) per jam.
“Komposisinya masing-masing 51% untuk penanaman baru, 27% untuk pabrik, dan 22% untuk infrastruktur seperti jalan,” ungkapnya.