Bisnis.com, JAKARTA—Kinerja saham sektor properti diprediksi semakin terseok seiring ditetapkannya kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) sebesar 50 basis poin atau lebih besar dari ekspektasi pelaku pasar 25 basis poin.
“Secara implisit, kenaikan ini mencerminkan kepanikan dari BI dalam menghadapi tekanan rupiah dan derasnya penurunan cadangan devisa,” ujar Edwin Sebayang, Kepala Riset PT MNC Securities, saat dihubungi, Kamis (11/7/2013).
Dia menjelaskan kenaikan BI rate yang terlalu besar dalam satu kali kebijakan ini akan membuat pergerakan pasar bergerak turun atau bearish, terutama kinerja dari sektor properti dan perbankan yang sensitif terhadap perubahan suku bunga acuan.
Kenaikan suku bunga acuan terlalu dini dan sangat besar ini, menurutnya, akan berdampak buruk terhadap fundamental dari industri properti dan perbankan. Alhasil, kinerja saham dari sektor masing-masing tersebut juga akan sejalan dengan fundamental masing-masing emiten.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, pergerakan saham indeks sektor properti sejak awal Juni hingga 11 Juli 2013 mencatatkan koreksi 23,4% atau paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Sementara IHSG hanya terkoreksi 9,61%.
Di posisi kedua, ditempati indeks saham sektor tambang 14,02%, disusul sektor perdagangan 11,18% dan sektor keuangan 10,52%. Di tempat kelima, yakni sektor industri dasar 10,31%, disusul sektor manufaktur 7,15% dan sektor aneka industri 6,52%.
Adapun sisanya, sektor agrikultur terkoreksi 6,31% dan sektor konsumer goods 5,57%. Berbeda dengan sektor lainnya, sektor dari infrastruktur & transportasi justru mencatatkan pertumbuhan kinerja saham hingga 1,18%.
Siswa Rizali, Head of Investment PT Andalan Artha Advisindo Asset Management, membenarkan saham-saham properti dan konstruksi terlihat paling tertekan dan cenderung tidak pulih pada saat pasar rally kecil.
“Ada beberapa hal yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam valuasi saham properti terutama dari bunga kredit pemilikan rumah (KPR),” tuturnya.
Menurutnya, pertumbuhan pendapatan pengembang dalam 2 tahun-3 tahun terakhir distimulus oleh ekspansi kredit konsumer yang agresif dengan bunga rendah. Oleh karena itu, lanjutnya, kenaikan suku bunga kredit dan harga properti akan menyebabkan penurunan daya beli.