BISNIS.COM, JAKARTA-Frekuensi transaksi obligasi korporasi di pasar sekunder sepanjang kuartal I/2013 tercatat menurun 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni dari 2.255 kali menjadi 1.810 kali.
Meski demikian, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), volume transaksi naik tipis 1,29% dari 39,68 triliun menjadi 40,19 triliun. Adapun rerata volume harian meningkat 7,41% dari 629,84 miliar menjadi 676,55 miliar.
Analis Obligasi PT Nusantara Capital Securities I Made Adi Saputra mengatakan penurunan frekuensi perdagangan terjadi karena ekspektasi inflasi awal tahun ini membuat investor jadi lebih waspada melakukan transaksi.
“Inflasi kuartal pertama ini lebih tinggi dari tahun lalu. Jadi investor wait and see meski jumlah penerbitan obligasi tetap naik,” ujarnya, Kamis(4/4/2013).
Selain itu, dia menilai imbal hasil obligasi korporasi juga belum meningkat signifikan meski sudah lebih baik jika dibandingkan imbal hasil obligasi pemerintah.
Terkait volume transaksi yang sedikit naik, dia menjelaskan penambahan jumlah penerbitan obligasi pada 2012 lalu yang terbawa hingga awal tahun ini mendorong pertumbuhan volume perdagangan obligasi. Pasalnya, hal itu secara otomatis menambah likuiditas transaksi di pasar sekunder.
Selain itu, jumlah investor yang melakukan transaksi obligasi korporasi pun meningkat karena pertimbangan imbal hasil yang cukup menarik.
Berbeda dengan lesunya kondisi pasar sekunder, total aliran dana di pasar obligasi korporasi sepanjang kuartal I/2013 justru meningkat hingga Rp10,81 triliun, dengan outstanding Rp198,93 triliun per Maret 2013 dari semula Rp188,12 triliun pada posisi Januari 2013.
Berdasarkan data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), aliran dana investor lokal yang masuk mencapai Rp10,25 triliun dari Rp175,35 triliun menjadi Rp185,60 triliun. Sementara aliran dana asing yang masuk hanya Rp570 miliar menjadi Rp13,34 triliun dari semula Rp12,77 triliun.
Jika dilihat, aliran dana yang masuk ke pasar obligasi korporasi hanya Rp5,88 triliun pada tiga bulan pertama tahun lalu. jumlahnya terdiri dari Rp5,32 triliun aliran dana dari investor domestik dan Rp820 miliar dana asing.
Head of Fixed Income Research Handy Yunianto memproyeksikan imbal hasil obligasi acuan telah mencapai puncak level yield yang wajar, dengan kemungkinan koreksi lanjutan yang lebih terbatas.
“Secara keseluruhan, yield obligasi pemerintah tidak akan meningkat signifikan, karena BI [Bank Indonesia] akan tetap menjadi pembeli siaga obligasi untuk mempercepat rencananya menggunakan obligasi sebagai instrumen untuk menggantikan SBI,” tulisnya dalam riset yang dirilis pekan ini.
Pada 2012, BI hanya membeli Rp19 triliun, lebih rendah dari 2011 yang mencapai Rp43 triliun karena tidak ada penarikan dana asing yang signifikan saat itu. Berdasarkan perhitungan, yield rerata tertimbang untuk obligasi pemerintah jatuh tempo yang dimiliki BI tercatat sebesar 6,3%.
Handi meyakini ini merupakan level support untuk pasar obligasi rupiah pada 2013, saat ini yield rata-rata jatuh tempo obligasi pemerintah hampir 6%.
“Untuk 2013, kami mengestimasi yield tetap rendah tetapi volatilitasnya meningkat dan kemungkinannya tipis terjadi kenaikan harga obligasi selanjutnya,” katanya.
Dia memperkirakan obligasi tenor 10 tahun akan diperdagangkan antara 5,2%-5,2% pada 2013, sehingga imbal hasil investasi pada obligasi pemerintah akan lebih rendah dibandingkan 2012.
Adapun, tiga risiko yang harus diperhatikan investor antara lain pasokan obligasi pemerintah akan lebih tinggi karena target defisit APBN meningkat. Dari sisi inflasi, target pemerintah kemungkinan meleset karena kebijakan pembatasan harga bahan bakar minyak.
Risiko terakhir, ekspektasi pelemahan rupiah diprediksi berlanjut jika kondisi ekonomi global memburuk dan bisa memicu asing melakukan penarikan dana secara tiba-tiba. (msb)