Bisnis.com,- JAKARTA--Pada awal 2011, PT Tri Polyta Indonesia Tbk. merger dengan PT Chandra Asri.
Hasilnya, berbuah prospek manis. Perusahaan gabungan yang bernama PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. tersebut menjadi operator satu-satunya naphtha cracker berskala dunia di Indonesia.
Meneropong kinerja perusahaan petrokimia terbesar di Tanah Air tersebut, bagaimanakah prospeknya ke depan? Tak sedikit analis menilai emiten bersandi TPIA itu akan memiliki kinerja gemilang setidaknya hingga tutup tahun ini dan pada 2017.
Mimi Halimin, analis dari PT Daewoo Securities Indonesia, dalam risetnya yang dirilis belum lama ini mengamini bahwa TPIA adalah perusahaan petrokimia terbesar di Indonesia dengan masa depan menjanjikan. Selain itu, TPIA pun disebut Mimi sebagai pabrikan petrokimia paling terintegrasi.
“Kami melihat bahwa posisi TPIA sebagai perusahaan terintegrasi di Indonesia akan membuat TPIA lebih efisien. Hal itu akan lebih positif mempengaruhi marjin,” tulisnya.
TPIA sebagai perusahaan terintegrasi karena perseroan tersebut tidak hanya beroperasi di sektor hulu. TPIA pun merambah industri mid stream atau menengah yang memberikan nilai tambah pada produknya.
TPIA memproduksi olefin dengan produk turunan ethylene, propylene, py gas dan mixed C4. Adapula poliolefin dengan produk turunan polyethylene dan polypropylene. Selain itu ada juga styrene monomer dan butadiene.
Produk TPIA adalah bahan dasar dari berbagai produk konsumen dan industri. TPIA memproduksi bahan baku plastik dan bahan kimia yang digunakan untuk kemasan, otomotif, pipa, elektronik, dan lain-lain. Pada semester I/2016, kinerja TPIA sangat moncer.
Perseroan membukukan laba bersih US$131,75 juta, naik pesat dari capaian periode yang sama tahun lalu yang hanya US$17,91 juta. Adapun pendapatan bersih semester pertama 2016 mencapai US$882,11 juta naik hanya sekitar 10,4% dibandingkan dengan revenue pada paruh pertama tahun lalu US$799,24 juta.
Jika dirinci, olefin berkontribusi 28,3% terhadap pendapatan bersih semester I/2016. Adapun polyolefin memberikan sumbangsih 49%, styrene monomer 14,9%, dan butadine 7,3%
Penaikan pendapatan tersebut menurut Mimi disokong oleh penjualan lokal yang mencapai 77,9%, sementara ekspor 21,5%. Adapun sisanya sebesar 0,6% dari penyewaan jetty dan tank.
Di sisi lain, marjin laba kotor yang dicatatkan perseroan meningkat signifikan menjadi 24,7% pada enam bulan pertama tahun ini, sedangkan tahun lalu hanya 11%. Menurut Mimi hal itu tak terlepas dari perbaikan marjin di semua segmen bisnis. Beban usaha pun dapat ditekan sebesar 10,7%.
Mimi menulis, hal itu seiring ekspansi perseroan sejak 2013 untuk meningkatkan kapasitas produksi. Terakhir pada Desember 2015, TPIA telah berhasil merampungkan teknik penyempurnaan cracker dan perluasan kapasitas produksi.
Saat ini produksi per tahun untuk ethylene meningkat dari 600.000 ton menjadi 860.000, propylene dari 320.000 menjadi 470.000, py gas dari 280.000 menjadi 400.000 dan mixed C4 dari 220.000 menjadi 315.000. Dengan hal itu, lanjut dia, positifnya kinerja pada paruh pertama 2016 akan berlanjut.
“Kinerja TPIA akan terus meningkatkan sejak ekspansi. Hal ini pun didukung harga minyak lebih rendah yang akan menjadi katalis positif,” ujarnya.
Antonia Febe Hartono, analis Dana Reksa Sekuritas dalam risetnya yang dipublikasikan belum lama ini melihat manajemen TPIA optimistis kinerja yang kuat dapat dipertahankan sepanjang 2016 dan 2017.
“Hal ini didukung oleh kapasitas terpasang lebih tinggi untuk memenuhi permintaan petrokimia dalam negeri serta rendahnya harga bahan baku karena penurunan harga minyak dunia dan lebih rendah biaya produksi per ton setelah penyelesaian proyek ekspansi cracker,” tulisnya.
Dia menyebut, TPIA akan mempertahankan diri sebagai pemimpin pasar dalam industri petrokimia Indonesia. Hal ini tak terlepas dari fasilitas produksi terpusat TPIA di Ciwandan, Cilegon, Banten dengan 45 km jaringan pipa khusus yang melayani klien utama termasuk Asahimas, Lautan Otsuka, Dongjin dan Sriwie.
Awal tahun ini TPIA menikmati sekitar 42% pangsa pasar ethylene domestik dan 30% polypropylene. Sebagai pemimpin pasar TPIA mampu menjual produknya dengan kisaran harga 4% hingga 6% karena memiliki kelebihan lokasi yang strategis ditunjang pasokan yang konsisten.
“TPIA pun diuntungkan pasca ekspnasi yang selesai akhir 2015 yang menyebabkan biaya produksi per ton turun hingga 15%,” tulisnya.
Dia menambahkan, tak salah jika TPIA memiliki harapan besar untuk mendongkrak kinerja tahun ini dan 2017. Pasalnya, momentum pemulihan ekonomi global akan meningkatkan permintaan untuk produk kimia.
Meski demikian, baik Mimi maupun Antonia tidak menyebut proyeksi kinerja pendapatan maupun laba perseroan hingga 2016 berakhir mapun tahun depan. Adapun terkait harga saham sepanjang tahun ini, mengutip Bloomberg, terendah berada pada Rp3.328 pada januari dan tertinggi Rp13.600 pada penutupan pasar pekan lalu.