Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Bank Indonesia menyerap surat utang pemerintah untuk mendanai program tiga juta rumah menimbulkan kekhawatiran terhadap pengelolaan utang nasional dan memengaruhi selera investor asing.
Adapun, Bank Indonesia berencana memberikan dukungan untuk mendanai program Presiden Prabowo Subianto yang ingin membangun tiga juta rumah. Namun demikian, analis khawatir langkah tersebut akan memengaruhi pengelolaan utang pemerintah.
Pekan lalu, Bank Indonesia menyatakan siap untuk membeli lebih dari US$9 miliar obligasi pemerintah tahun ini. Ekonom Citigroup mengatakan pembelian obligasi tersebut diperbolehkan dalam hukum di Indonesia dan menjadi bagian dari kebijakan moneter bank sentral. Bank Indonesia berencana membeli SBN tersebut di pasar sekunder.
Praktik bank sentral membantu belanja pemerintah kali ini disebut masuk ke dalam "perkembangan lain".
"Investor mungkin sudah mulai memperhitungkan risiko dari monetisasi utang ini," tulis Arman dalam catatan yang dikutip Bloomberg, dilansir pada Selasa (25/2/2025).
Selanjutnya, apabila persepsi investor memburuk melihat praktik monetisasi utang pemerintah ini, dikhawatirkan premi risiko untuk aset Indonesia akan meningkat dan aliran modal asing untuk mau masuk ke Tanah Air bisa tersumbat.
Baca Juga
Monetisasi utang ini merukuk kepada praktik pemerintah meminjam uang dari bank sentral untuk mendanai anggaran belanja negara. Pendanaan model ini dilakukan alih-alih dengan menerbitkan obligasi untuk investor swasta atau menaikkan pajak.
Sebelumnya, rencana monetisasi tersebut disampaikan dalam konferensi pers antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, Wakil Menteri BUMN Dony Oskaria, dan Ketua Komisi XI DPR M. Misbhakun di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat pada Kamis (20/2/2025) malam.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa APBN akan mendukung masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar bisa mempunyai rumah pribadi. Untuk memaksimalkan upaya tersebut, sambungnya, Kementerian Keuangan pun berencana menerbitkan surat utang demi target tiga juta rumah bisa tercapai.
Menurut bendahara negara itu, pembiayaan melalui penerbitan SBN perumahan itu merupakan modifikasi dari skema FLPP atau fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan. Dengan demikian, target penerima manfaat bisa bertambah.
Sementara itu, Perry Warjiyo mengungkapkan BI juga turut akan menyukseskan pembiayaan program perumahan rakyat pemerintah. Salah satu caranya, sambung Perry, dengan membeli SBN yang akan diterbitkan Kementerian Keuangan di pasar sekunder.
Selain itu, Perry mengungkapkan BI akan menaikkan insentif kebijakan likuiditas mikroprudensial dari Rp23,19 triliun menjadi Rp80 triliun ke bank-bank yang menyalurkan kredit ke salah satunya sektor perumahan
Dia mengatakan bahwa kenaikan insentif akan dilakukan secara bertahap sebagai bentuk dukungan bank sentral terhadap program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Adapun, Bloomberg mencatat Bank Indonesia sudah membeli utang negara lebih dari Rp800 triliun pada periode 2020-2022 di pasar primer untuk menggairahkan ekonomi selama pandemi Covid-19.
Namun kali ini, analis dan investor melihat tidak ada urgensi untuk melakukan kebijakan seperti itu. Melihat penggunaan utang tersebut untuk dialirkan ke pasar properti.
Fund Manager Gama Asset Management SA Rajeev De Mello mengatakan praktik monetisasi utang ini akan membuat pandangan risiko investor meningkat dan menekan nilai tukar rupiah.
"[Ada kekhawatiran] tentang stabilitas keuangan Indonesia yang akan melemah," kata De Mello.
Fixed Income and Macro Strategist PT Mega Capital Lionel Priyadi menambahkan pemerintah harus menjelaskan tentang skema pendanaan utang untuk membiayai program tiga juta rumah ini.
"Jika tidak, pasar akan mengartikan ini sebagai risiko defisit angagran yang melebar, yang akan menaikkan yield obligasi pemerintah," katanya.
Adapun, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun turun ke sekitar 6,77% setelah sempat mencapai titik tertingginya pada bulan lalu di level 7,30%.