Bisnis.com, JAKARTA - Harga komoditas mulai dari emas, tembaga, hingga minyak mentah terpantau melemah seiring dengan pelemahan ekonomi global yang meredupkan prospek permintaan industri dan membuat investor melakukan aksi jual.
Berdasarkan data Bloomberg pada Selasa (6/8/2024), harga tembaga ditutup melemah 1,84% ke level US$8.850,50 per ton di London Metal Exchange setelah sempat anjlok 3,8%. Harga aluminium juga tercatat mengalami koreksi 0,60% ke level US$2.250 per ton.
Sementara itu, harga minyak berjangka turun sekitar 0,5% setelah sempat terkoreksi hingga 2,3%. Penurunan tersebut merupakan level harga terendah dalam 7 bulan terakhir.
Pasar komoditas bahan baku terseret ke dalam aksi jual besar-besaran pada Senin karena reaksi investor terhadap rilis data ekonomi AS.
Rilis data tersebut menandakan kemerosotan ekonomi AS yang memunculkan spekulasi bahwa perubahan kebijakan moneter yang akan dilakukan Bank Sentral AS, The Fed, kemungkinan terlambat untuk mencegah penurunan besar dalam perekonomian di Negeri Paman Sam dan sekitarnya. Adapun, aksi jual mulai berkurang setelah data baru menunjukkan sektor jasa AS berkembang pada periode Juli.
Chief Market Strategist di Blue Line Futures, Phil Streible menyebut kondisi tersebut menyebabkan munculnya kepanikan yang meluas. Pihaknya juga mencatat banyak jumlah uang tunai yang tertahan dengan para pedagang memanfaatkan harga yang lebih rendah.
Baca Juga
Untuk komoditas yang terkait dengan siklus industri, seperti tembaga, skenario hard-landing akan memberikan tekanan baru pada investor yang meyakini adanya lonjakan permintaan global pada awal 2024 ini.
Adapun, harga tembaga telah turun sekitar 20% dari rekor tertingginya pada Mei lalu seiring dengan aksi jual investor. Aksi jual teranyar pada Senin kemarin pun membawa harga tembaga ke level terendahnya dalam hampir empat bulan terakhir.
Meningkatnya kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi di pasar komoditas telah mendorong lembaga dana lindung nilai (hedge fund) untuk mengubah sebagian besar kontrak-kontrak utama menjadi bearish untuk pertama kalinya sejak tahun 2016.
Head of Investor Solutions di Quantix Commodities, Matthew Schwab menuturkan, pasar komoditas seperti minyak dan tembaga terlihat sudah memperhitungkan (priced in) sentimen resesi.
"Tren serupa juga terlihat pada pasar saham dan obligasi," ujar Schwab.
Di sisi lain, harga komoditas pertanian seperti biji kedelai dan kakao terpantau menguat pada perdagangan Senin waktu setempat.
Sementara itu, komoditas emas juga terlihat terdampak negatif seiring dengan aksi jual investor untuk menutupi kerugiannya di tempat lain. Harga emas tercatat naik sekitar 15% pada tahun ini dan umumnya terdampak positif saat tren pelemahan ekonomi.
Para analis menilai pelemahan yang terjadi pada emas merupakan konsekuensi wajar dari aksi jual masif para investor. Mereka juga menilai status emas sebagai aset safe haven akan kembali pulih jika pelemahan ini berlanjut.
Selain itu, pelemahan nilai dolar AS juga dapat mengerek naik emas dan komoditas lain dalam mata uang tersebut dengan meningkatkan daya beli konsumen di pasar-pasar utama seperti China.
"Komoditas terdampak dari sentimen risk-off ini. Namun, ke depannya pelemahan dolar AS dan pemangkasan suku bunga dapat memberikan dukungan untuk kelas aset ini," kata Senior Commodities Strategist di Marex, Ryan Fitz Maurice.
Sementara itu, Head of Commodities Strategy di Macquarie, Marcus Garvey menyebut, sentimen bullish untuk emas akan muncul jika ada lebih banyak rilis data ekonomi AS yang negatif. Hal tersebut juga akan memaksa The Fed untuk melakukan pemangkasan suku bunga secara signifikan.
Sebaliknya, sinyal ekonomi yang kuat dapat menunda laju pelonggaran yang dilakukan oleh para gubernur bank sentral. Hal ini akan membebani pergerakan harga logam mulia.
"Saya rasa pasar keuangan suka memperbaiki masalah di muka dengan menurunkan harga komoditas untuk mengurangi inflasi,” kata Energy Specialist Di TP ICAP Group Plc., Scott Shelton.