Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saran untuk Investor Obligasi dari Pelaku Pasar Global

Para investor surat utang masih harus menunggu langkah bank sentral Amerika Serikat, The Fed, untuk membalikkan kinerja investasi di pasar negara berkembang.
Karyawan mencari informasi terkait Obligasi Negara Ritel (ORI) di Jakarta. Bisnis/Nurul Hidayat
Karyawan mencari informasi terkait Obligasi Negara Ritel (ORI) di Jakarta. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA -- Para investor surat utang masih harus menunggu langkah bank sentral Amerika Serikat, The Fed, untuk dapat membalikkan kinerja investasi yang dilakukan dalam surat utang negara berkembang.

Dalam laporan Bloomberg, Selasa (18/6/2024), para investor obligasi pasar negara berkembang mencatatkan kerugian sekitar 1% tahun ini, membalik kondisi keuntungan 6% pada 2023. Sementara itu, para investor yang bertaruh ke dolar Amerika Serikat dalam investasinya telah menghasilkan keuntungan sebesar 2,5% sepanjang tahun berjalan.

"The Fed merupakan hambatan yang signifikan bagi kemajuan di paruh kedua," kata Rajeev De Mello, manajer portofolio makro global di GAMA Asset Management SA di Singapura.

Dia menjelaskan semua bank sentral di seluruh dunia, bahkan di luar negara berkembang, berharap bahwa The Fed akan membantu mereka dengan tetap berpegang pada rencana awal penurunan suku bunga.

Meningkatnya tanda-tanda kebijakan hawkish (mendukung kebijakan suku bunga acuan tinggi) oleh The Fed telah memicu aksi jual investor. Ini terlihat pada ETF Obligasi Mata Uang Lokal VanEck JP Morgan EM senilai US$2,7 miliar, ETF terbesar di dunia yang digunakan sebagai indikator melacak utang negara berkembang, telah mengalami arus keluar bersih selama 3 bulan terakhir.

Nilai Muncul Kembali Meski tekanan meningkat, sejumlah investor masih melihat kemungkinan pasar obligasi akan bangkit lagi.

Investor menyebut telah memperhitungkan risiko penurunan suku bunga The Fed termasuk risiko politik di Meksiko dan Brasil.

“Ini mungkin terlihat lebih menarik dibandingkan beberapa bulan terakhir,” kata Shamaila Khan, kepala pendapatan tetap untuk pasar negara berkembang dan Asia Pasifik di UBS Asset Management di New York.

Menurut Shamaila, pertumbuhan ekonomi domestik memiliki potensi untuk berkinerja cukup baik hingga akhir tahun ini tidak peduli suku bunga The Fed turun satu atau dua kali.

Daniel Wood, fund manager di William Blair menyebut pihaknya belanja surat utang 12%-15% di pasar negara berkembang. "Dengan batas risiko 1% di setiap pasar, jadi lakukan diversifikasi yang baik di sana," katanya.

Dia menjelaskan investasi obligasi yang dilakukan termasuk ke Kenya, Nigeria dan Pakistan. “Sekarang Anda berada di posisi yang tepat di mana Anda menikmati high carry dengan dukungan multilateral yang kuat.”

Meski demikian, tidak semua investor bersikap bullish. Leonard Kwan, fund manager T. Rowe Price, mengatakan investor mungkin harus menunggu beberapa saat hingga obligasi lokal negara berkembang kembali melanjutkan kenaikannya.

“Mungkin terjadi pada akhir tahun ini atau hingga paruh pertama tahun depan,” katanya.

Arah pembalikan ini seiring bank sentral di negara berkembang yang memilih mendinginkan perekonomian dalam negeri dengan menaikkan suku bunga acuan. Di Indonesia, bank sentral telah mengerek suku bunga acuan ke level 2016 yakni 6,25%.

Kondisi ini menahan reli imbal hasil obligasi negara-negara berkembang karena menjadi lebih hawkish.

Pada saat yang sama, para pembuat kebijakan di negara-negara berkembang di Asia telah mengisyaratkan meningkatnya keengganan untuk melonggarkan kebijakan di hadapan Federal Reserve.

“Saya yakin easy money policy sudah hilang,” kata Robert Samson, fund manager Nikko Asset Management di Singapura.

Easy money policy adalah kebijakan menurunkan suku bunga oleh bank sentral agar pinjaman menjadi lebih murah dan menarik lebih banyak peminjam.

Perusahaan aset management yang mengawasi US$240 miliar hingga Maret 2024 itu meyakini The Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan dalam waktu dekat.

Di tengah perkembangan hawkish baru-baru ini, inflasi Brasil melampaui perkiraan pada bulan Mei, sementara bank sentral Meksiko mengatakan pada bulan lalu bahwa tekanan harga yang tinggi adalah alasan untuk berhati-hati dalam melakukan pelonggaran lebih lanjut. Sementara itu, para pengambil kebijakan di Peru secara tak terduga menghentikan penurunan suku bunga pada minggu lalu di tengah kekhawatiran terhadap harga konsumen.

Di Eropa, bank sentral Hongaria mengatakan siklus pelonggaran moneter sudah hampir berakhir, sementara rencana upah pemerintah Polandia mungkin menunda penurunan suku bunga. Di Asia, para pengambil kebijakan di Thailand mempertahankan suku bunga pada minggu lalu setelah inflasi meningkat, sementara para pengambil kebijakan di Taiwan meningkatkan rasio persyaratan cadangan bank dalam bentuk pengetatan kebijakan.

“Kami pikir prospek pertumbuhan yang relatif cerah dan tingkat inflasi yang masih tinggi menunjukkan bahwa ini belum waktunya bagi bank sentral negara-negara berkembang di Asia untuk mulai melakukan pelonggaran,” tulis ekonom Barclays Plc, termasuk Brian Tan, dalam catatannya pada hari Jumat.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anggara Pernando
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper