Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja investasi Surat Berharga Negara (SBN) sepanjang 2023 mencapai 8,7% atau meng ungguli kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 6,2%.
Risiko imbal rendah SBN, imbal hasil 8,7% itu jauh lebih baik daripada kinerja IHSG. Oleh karena itu, SBN menjadi instrumen pilihan terbaik investor sepanjang 2023.
Kinerja return SBN yang baik beberapa tahun terakhir disertai arus modal investor domestik yang tinggi. Ada tiga faktor yang melatari fenomena tersebut. Pertama, OJK mengeluarkan POJK No. 1/POJK.05/2016 yang meng-atur alokasi investasi SBN bagi lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi/Re asu-ransi, dan Asuransi Sosial).
Berbagai POJK lain juga terus terbit untuk menyem-purnakan POJK No. 1/2016 tersebut. Sejak itu investor institusi terus meningkatkan alokasi investasi ke SBN. Kedua, gejolak bursa saham mendorong investor institusional beralih ke SBN.
Ketiga, kasus investasi saham bermasalah seperti di Dapen Pertamina, Asuransi Jiwasraya, dan Asabri juga memengaruhi pengelola investor dana publik mengarah-kan investasinya pada SBN.Hasil investasi SBN dalam periode 5 tahun (Januari 2018—Desember 2023) dan 10 tahun (Januari 2013—Desember 2023) lebih tinggi daripada return investasi saham. Jadi keputusan inves-tor meningkatkan alokasi investasi di SBN pada periode tersebut sangat tepat.
Selain rata-rata kupon sekitar 7,1%, kinerja inves-tasi SBN yang tinggi di 2023 berasal dari kenaikan harga SBN yang mencapai 1,65%. Saat ini imbal hasil (yield) SBN 10 tahun (benchmarkutama SBN) sekitar 6,6%. Yield terendah SBN secara historis sekitar 5,2% terjadi pada 2012. Selanjutnya yield teren-dah SBN kedua tercapai di 6,0% pada Desember 2020, padahal tingkat suku bunga global pada 2020 terendah dalam sejarah 50 tahun.
Baca Juga
Inflasi Indonesia tahun 2020 di 1,68%, sangat rendah dan jauh di bawah inflasi 2012 yang mencapai 4,3%. Fakta historis di atas indikasi momentum rally jangka pan-jang harga SBN atau penurunan yield sudah berakhir. Alhasil, potensi tambahan return investasi SBN dari kenaikan harga sangat ter-batas.Meski hasil investasi SBN yang lalu tinggi, investasi bukan mengejar return masa lalu.
Investasi adalah ten-tang ekspektasi atau potensi return di masa yang akan datang. Siklus investasi bia-sanya mengalami rotasi di mana setelah masa-masa hasil investasi yang ting-gi akan diikuti masa-masa dengan hasil investasi yang rendah. Sebaliknya, masa-masa hasil investasi yang rendah biasanya akan diikuti masa-masa dengan hasil investasi tinggi.Kontras dengan SBN, banyak harga saham unggulan kapitalisasi besar yang mencapai puncaknya di tahun 2017—2018 kemudian meng-alami koreksi harga sepan-jang 2018—2023.
Beberapa saham unggulan kapitalisasi besar tersebut di antaranya PT Astra International Tbk. (ASII), PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM), PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF), dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (SMGR). Keempat saham ini juga menjadi pemimpin di masing-masing industrinya. Pada periode 2018—2023, harga-harga saham ASII, TLKM, INDF, dan SMGR ter-koreksi masing-masing 32%; 11%; 15%; dan 35%.Di sisi lain, kinerja funda-mental saham-saham kapita-lisasi besar tersebut menga-lami perbaikan.
Pendapatan ASII, TLKM, INDF, dan SMGR selama 2018—2023 secara total tumbuh men-capai 54%; 17%; 66%; dan 41%. Laba ASII, TLKM, INDF, dan SMGR juga tum-buh mencapai 80%; 15%; dan 122%; dan 38%. Dengan laba yang kon-sis ten, ekuitas keempat per usahaan tersebut terus meningkat.
Oleh karena itu, valuasi perusahaan baik dari price-to-earning ratio (PER) maupun price-to-book value ratio (PBV), terus menurun.
Kontraksi valuasi PER keem-pat saham berkisar 26% sam-pai 63%. Sementara itu, kon-traksi valuasi PBV keempat saham berkisar 37% sampai 62%.Dalam jangka panjang, kriteria instrumen investasi yang menarik adalah: memi-liki kinerja fundamental yang baik, valuasi yang murah, dan kepemilikan investor masih sedikit (underweight).
Ketiga kriteria ini dimiliki oleh keempat saham tersebut: ASII, TLKM, INDF, dan SMGR.Rally instrumen finansial sendiri, seperti saham, bia-sanya melalui empat tahap. Tahap awal bullish instru-men finansial selalu dimulai dengan pesimisme yang luar biasa, seperti crash di 2020 akibat penyebaran wabah Covid-19.
Di tahap selanjutnya, pemulihan harga-harga saham dibayangi dengan ber-bagai kekhawatiran, seperti gejolak akibat perang Rusia vs Ukraina (Feb 2022—seka-rang), kenaikan harga-harga energi, kenaikan inflasi dan suku bunga.
Saat ini, risiko stagnasi ekonomi China aki-bat krisis sektor properti dan konflik geopolitik di Timur Tengah terus membayangi pemulihan ekonomi dunia.Tahap ketiga rally ditan-dai oleh antusiasme inves-tor akan perbaikan kinerja fundamental perusahaan sehingga harga-harga saham naik jauh lebih cepat dari perbaikan fundamental.
Pada tahap terakhir rally ditandai euforia investor yang meya-kini bahwa kenaikan harga saham akan terus berlanjut meski kinerja fundamental perusahaan mulai menurun.Dua tahapan rally telah ter-jadi, IHSG mencapai titik ter-tinggi 7.350 pada awal 2024.
Saham-saham bank besar, Bank BCA, Bank BRI, dan Bank Mandiri, menjadi lea-der kenaikan IHSG tersebut. Dalam tahapan rally selanjut-nya, perbaikan fundamental saham-saham yang tertinggal kenaikan harganya (laggard), seperti ASII, TLKM, INDF, dan SMGR, yang akan mena-rik investor.
Meski IHSG berada di titik tinggi 7.200-an, saat ini tetap menjadi waktu terbaik untuk membeli saham-saham ung-gulan yang menjadi fondasi ekonomi Indonesia.
Beli lah saham-saham tersebut seka-rang dan beli lebih banyak bila IHSG kembali terkoreksi (buy Indonesia, buy now, and buy more).
Penulis yakin dalam 3—5 tahun ke depan, potensi imbal hasil investasi saham tersebut dengan mudah men-capai 15% per tahun, bahkan lebih