Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IPOC 2022: Ekspektasi hingga Potensi Ekspor Sawit ke Uni Eropa

Masih ada potensi ekspor sawit ke Uni Eropa di tengah belum usainya perang Rusia dan Ukraina. Apalagi gejolak ekonomi global juga masih membayangi.
Pembukaan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11/2022) - Bisnis/Asteria Desi Kartika Sari
Pembukaan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2022 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11/2022) - Bisnis/Asteria Desi Kartika Sari

Bisnis.com, NUSA DUA—  Sebagai salah satu produsen sawit terbesar, Indonesia berekspektasi dapat memproduksi hingga 50 juta ton minyak kelapa sawit 2022.  Jika tercapai, hal ini dapat memberikan lebih banyak suplai untuk industri makanan hingga oleochemical seperti biofuel baik untuk keperluan domestik maupun pasar global.

Meskipun untuk mencapai itu, industri sawit sadar betul masih ada sejumlah tantangan yang perlu diantisiapsi seperti dinamika ekonomi global, hingga risiko perang Rusia dan Ukraina yang belum usai. Kendati begitu sejumlah kemungkinan ataupun potensi masih ada, yang didukung dengan kebijakan ataupun regulasi dari pemerintah yang mumpuni.

Di tengah krisis perang Rusia dan Ukraina, performa industri sawit hingga September produksi mencapai 37 juta ton dengan ekspor sebanyak 22 juta ton. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Suproyono menjabarkan memperkirakan 51,8  juta ton minyak sawit akan diproduksi hingga akhir 2022. Jika diperinci sebesar 47 juta ton crude palm oil (CPO)  dan 4,8 juta ton crude Palm kernel oil (CPKO)  Sementara untuk ekspor diharapkan dapat mencapai 30 juta ton.

Dia menyadari perang antara Rusia dan Ukraina memberikan dampak pada pasokan minyak nabati dunia, terutama minyak bunga matahari.  “Dalam merespons situasi ini, kita melihat sejumlah negara mengubah konsumsi ke jenis minyak nabati lainnya,” kata Joko dalam sambutan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) di hotel Westin Nusa Dua Bali, Kamis (3/11/2022).

Dia mengatakan kondisi geopolitik tersebut mendorong harga minyak nabati lain, termasuk harga sawit yang berkontribusi lebih dari 30 persen dari total pasokan minyak nabati. Harga minyak sawit meroket seteah perang Rusia dan Ukraina. Dia mengatakan perdagangan minyak sawit dunia juga terkena imbas pada akhir April, ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor CPO sementara.

“Dengan situasi ini ,kita melihat geopolitik dan regulasi terhadap negara produsen minyak nabati berdampak besar kepada perdagangan besar kepada perdagangan global,” katanya.

Joko menyebut harga minyak sawit mencapai puncak tertinggi menyentuh US$1.800 per metrik ton pada bulan April. Capaian harga tersebut memecahkan rekos sejarah dalam industri perdagangan minyak sawit.

Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia dan Uni Eropa Andri Hadi mengatakan kebutuhan akan minyak sawit untuk Uni Eropa sendiri masih tak terhindarkan. Meskipun pasr Uni Eropa masih ada retriksi namun Indonesia tetap memenuhi persyaratan tertentu.  Kendati begitu, ekspor untuk Uni Eropa telah meningkat sejak 2020. Pada 2020, ekspor minyak sawit meningkat kurang lebih US$2,7 miliar, sementara pada 2021 hampir US$3,8 miliar.

“Permasalahannya kenapa karena ini kebutuhan, tidak bisa tidak kita penuhi apalagi minyak sawit digunakan untuk produk derivative, bahkan untuk produk yang betul-betul dibutuhkan oleh konsumen, jadi memang ada kebutuhan,” katanya.

Dia juga menganggap bahwa sawit sebagai komoditas yang ramah lingkungan di kawasan Uni Eropa. Dia mengatakan pada Juli 2022, Indonesia bersama dengan sejumlah negara produsen telah menandatangai surat bersama yang dikirimkan kepada para pemimipin Uni Eropa. Adapun isi surat itu menyoroti posisi Indonesia sebagai negara terbuka yang mendukung regulasi produk bebas deforestasi dan kelestarian lingkungan.

Dia menyebut memang tantangan sawit ke depan tidak mudah.Selain aturan WTO yang ketat terkait sawit, berbagai regulasi seperti peraturan terkait deforestasi dan kelestarian lingkungan tetap perlu diikuti dan dihormati.

Menurut Hadi,meski memberlakukan aturan ketat, Uni Eropa membutuhkan minyak sawit dan dari negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia dalam jumlah signifikan.“Minyak sawit Indonesia memegang 30-40 persen dari impor Uni Eropa untuk minyak nabati,” kata Andri Hadi.

Menurutnya, permintaan produk CPO terus menguat terutama pada awal Perang Rusia-Ukraina terutama akibat gangguan rantai pasokan, dan pemulihan global pascapandemi.“Minyak sawit dapat memenuhi permintaan Uni Eropa akan minyak nabati, sehingga membantu ketahanan energi di kawasan ini,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper