Melangkah ke 2022 tentunya dimulai dengan harapan dan semangat baru untuk untuk kembali berinvestasi. Karena itu sebelum membuat keputusan investasi, sebaiknya memahami prospek ekonomi dan investasi di tahun ini. Beberapa kabar baik terkait pandemi memberikan harapan di tengah meningkatnya varian Omicron di awal tahun.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA) telah menyetujui untuk penggunaan darurat obat antivirus yang diproduksi Pfizer dan Merck yang diyakini dapat menurunkan tingkat keparahan infeksi. Selain itu gejala Omicron yang disinyalir lebih ringan dibandingkan varian sebelumnya disebut oleh para ahli sebagai kunci untuk mengubah status pandemi menjadi endemi.
Pemerintah di seluruh dunia terus berlomba untuk melakukan vaksinasi global demi mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity terhadap pandemi ini. Di Amerika Serikat sekitar 61,51% warga telah mendapat vaksinasi penuh.
AS juga menyambut 2022 tanpa lockdown serta tetap membuka kedatangan wisatawan asing untuk tetap mendorong roda perekonomian. Inflasi tahunan pun mencatatkan rekor tertinggi dalam 30 tahun terakhir di 6,8%.
Tingginya inflasi ini membuat bank sentral AS, Federal Reserve (Fed) mulai mengetatkan kebijakan atau tapering. Laju pengurangan pembelian yang sekarang meningkat menjadi US$30 miliar meningkatkan sejumlah spekulasi pasar bahwa Fed akan mulai menaikkan suku bunga di akhir tapering.
Survei CME’s Fed Watch Tool mengemukakan adanya 60% probabilitas kenaikan pada Maret 2022 dan 61% probabilitas bahwa Fed akan menambah dua kali lagi kenaikan suku bunga hingga akhir 2022. Kenaikan suku bunga berpotensi mendorong kenaikan imbal hasil obligasi dan mendorong investor beralih ke aset yang lebih berisiko seperti saham untuk mendapatkan excess return.
Di Indonesia sendiri dalam mengantisipasi penyebaran Omicron di tengah proses pemulihan ekonomi, pemerintah meningkatkan level PPKM, menambah masa karantina kedatangan luar negeri, mendatangkan obat antivirus jenis baru, serta merencanakan booster vaksin di bulan ini.
Tingkat vaksinasi lengkap yang mencapai di atas 50% serta keberhasilan PPKM dalam menekan kasus harian membuat beberapa sektor non-esensial kembali dibuka, sehingga aktivitas ekonomi kembali bergeliat dan mendorong permintaan masyarakat di tengah kenaikan harga komoditas.
Hal ini tecermin pada rilisan data inflasi Desember 2021 yang mencatatkan kenaikan inflasi tahunan sebesar 1,87%. Penyumbang inflasi terbesar datang dari kelompok makanan, minuman dan tembakau dengan kenaikan sebesar 0,41%, diikuti komponen transportasi yang bersumber dari angkutan udara dengan kenaikan 0,06%.
Seiring dengan pemulihan ekonomi domestik ini Bank Indonesia (BI) berpotensi mengambil kebijakan yang lebih agresif di 2022, dengan menaikan suku bunga sebanyak satu hingga dua kali sebagai upaya menahan laju inflasi sambil mempertahankan momentum pemulihan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi di kisaran 5%—5,5%. Angka tersebut lebih baik daripada 2021 yang diperkirakan berada di kisaran 3,2%—4%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turut didorong dari kenaikan investasi akibat perubahan Undang-Undang Cipta Kerja dan juga normalisasi anggaran pemerintah terkait dengan proyek infrastruktur 2022 yang sempat dialihkan untuk program pemulihan ekonomi nasional dalam penanganan pandemi di 2020-2021.
Momentum pemulihan ekonomi ini direspons positif oleh para pelaku pasar. Kenaikan ekspor dan harga komoditas akan mendorong kinerja sektor ekonomi lainnya. Penjualan sepeda motor, mobil serta kendaraan perkebunan diperkirakan masih meningkat. Hal ini tentunya akan menarik investor asing untuk masuk ke pasar saham Indonesia.
Sementara itu, kenaikan yang terjadi pada indeks saham Indonesia relatif tertinggal jika dibandingkan dengan India dan Thailand yang telah lebih dulu mendapatkan apresiasi sejak pandemi dimulai.
Tentunya kondisi ketertinggalan ini memberikan nilai jual yang lebih menarik di pasar saham Indonesia. Didukung dengan momentum pemulihan ekonomi, Indeks Harga Saham Gabungan berpeluang untuk menuju di kisaran 7.200–7.400 pada 2022.
Dengan inflasi yang bergerak naik dan suku bunga yang berpotensi naik di 2022, hal ini dapat menjadi pemberat bagi pasar obligasi. Namun, harga obligasi diperkirakan relatif stabil dengan mempertimbangkan beberapa faktor.
Dari sisi suplai obligasi, jumlah penerbitan surat utang negara (SUN) yang turun pada tahun ini dan adanya kestabilan permintaan melalui skema burden sharing dapat mengurangi volatilitas yang terjadi akibat potensi kenaikan suku bunga. Alhasil, pergerakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun diperkirakan bergerak di kisaran 6,5%—6,75% di 2022.
Bagi Anda yang akan membuat keputusan investasi, pastikan untuk memahami profil risiko, tujuan investasi dan instrumen investasi pilihan. Anda juga dapat mengoptimalkan keuntungan sambil mengendalikan risiko dengan melakukan strategi investasi seperti mengalokasikan investasi pada beberapa instrumen, melakukan pembelian secara bertahap, yang kerap disebut dollar cost averaging, serta memanfaatkan koreksi sebagai kesempatan investasi jangka panjang.
Selamat berinvestasi!