Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jika Tak Ada Tambang Baru, Industri Tembaga Perlu US$100 Miliar untuk Amankan Suplai

Meningkatnya kebutuhan tembaga untuk sektor transportasi dan energi bersih menimbulkan risiko kekurangan pasokan dalam beberapa tahun ke depan. Pembukaan tambang baru menjadi penting.
Gulungan kabel tembaga di pabrik Uralelectromed OJSC Copper Refinery yang dioperasikan oleh Ural Mining and Metallurgical Co. di Verkhnyaya Pyshma, Rusia, Selasa (7/3/2017)./Bloomberg-Andrey Rudakov
Gulungan kabel tembaga di pabrik Uralelectromed OJSC Copper Refinery yang dioperasikan oleh Ural Mining and Metallurgical Co. di Verkhnyaya Pyshma, Rusia, Selasa (7/3/2017)./Bloomberg-Andrey Rudakov

Bisnis.com, JAKARTA — Dalam waktu 10 tahun ke depan, dunia diperkirakan menghadapi kekurangan suplai tembaga secara besar-besaran. Pada 2030, industri tembaga diproyeksi defisit pasokan hingga 4,7 juta metrik ton per tahun.

Hal ini, seperti disampaikan oleh laporan CRU Group dan dilansir Bloomberg, Sabtu (20/3/2021), dapat terjadi jika sektor transportasi dan energi bersih terus berkembang dengan pesat. Industri tembaga pun memerlukan dana hingga US$100 miliar untuk menutup kekurangan pasokan itu.

Sementara itu, firma trader komoditas Trafigura Group menyatakan potensi defisit bisa mencapai 10 juta ton jika tidak ada tambang baru. Untuk menghindarinya, diperlukan pembangunan delapan proyek tambang seukuran tambang tembaga terbesar dunia, yakni Escondida di Chile, milik BHP Group.

Tembaga menjadi bahan baku yang sangat penting dalam pembuatan kabel, pipa, baterai, hingga kendaraan. Oleh karena itu, material ini pun vital dalam upaya mendorong pengembangan energi berkelanjutan dan kendaraan listrik.

Kegagalan menyediakan pasokan yang mencukupi akan menimbulkan risiko kenaikan harga dan ketidakmampuan melanjutkan transisi ke energi yang lebih bersih.

Meski sebenarnya ada beberapa pipeline tambang tembaga baru, tetapi para produsen komoditas ini khawatir justru akan memicu oversuplai, yang pernah terjadi sebelumnya. Hal inilah yang membuat harga tembaga terus mendekati level tertinggi dalam 10 tahun terakhir, yang di atas US$4 per pon.

"Meningkatnya kompleksitas teknis dan penundaan persetujuan justru bisa menimbulkan kelangkaan pada 2025-2030," sebut analis Bloomberg Intelligence Grant Spoore dan Andrew Cosgrove dalam laporannya, pekan ini.

Mereka menyebutkan ada proyek-proyek baru yang sedang dikembangkan yang diharapkan dapat menambah suplai di pasar antara 2022-2025. 

Kondisi ini juga yang membuat perhatian dunia tertuju ke Indonesia, di mana Freeport tengah mengembangkan tambang bawah tanah. Tambang tersebut diproyeksi bisa digarap pada akhir tahun ini, sehingga bisa membantu suplai yang sempat terganggu pandemi Covid-19.

Proyek lainnya yang ditunggu-tunggu adalah Kamoa-Kakula milik Ivanhoe Mines Ltd. di Republik Demokratis Kongo, yang dijadwalkan bisa beroperasi pada Juli 2021. Kemudian, proyek Quellaveco milik Anglo American Plc di Peru, yang diharapkan beroperasi pada tahun depan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Annisa Margrit
Editor : Annisa Margrit
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper