Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Yield SUN Bisa ke 6,5 hingga 7 Persen pada Akhir 2021, Ini Alasannya

Imbal hasil obligasi Indonesia saat ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti India, Filipina, dan Malaysia.
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA - Analis memperkirakan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun bakal berada pada kisaran 6,5 persen - 7 persen pada akhir 2020.

Hal itu dipengaruhi oleh tenaga perbankan dalam menyerap penawaran lelang hingga potensi aliran masuk modal asing (foreign inflow) di pasar obligasi domestik.

Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz menunjukkan imbal hasil obligasi Indonesia saat ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya seperti India, Filipina, dan Malaysia. Hal itu tercermin dari posisi spread yield SUN 10 tahun dengan Treasury AS dan disesuaikan dengan premi risiko menggunakan CDS 5 tahun.

“Kami melihat peluang pada pasar obligasi masih ada dengan kisaran yield 6,5 persen—7 persen untuk SUN tenor 10 tahun pada akhir 2021,” kata Faiz pekan lalu.

Faiz juga percaya bahwa kebijakan Bank Sentral AS (Federal Reserve) belum akan berubah dalam waktu dekat sebelum indikator pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam benar-benar solid.

Adapun, kekhawatiran tapering off oleh The Fed ketika perekonomian kembali tumbuh dan inflasi meningkat telah melambungkan imbal hasil obligasi AS bertenor 10 tahun atau Treasury AS.

Pelaku pasar khawatir, setelah stimulus jumbo AS senilai US$1,9 triliun dikeluarkan, maka perekonomian bakal bergeliat dan akhirnya suku bunga akan dikembalikan ke level normal. Hal itu pun bakal membuat imbal hasil Treasury AS menjadi lebih menarik sehingga terjadi realokasi aset dari negara berkembang menuju negara maju.

Mengutip Bloomberg pada Senin (15/3/2021), imbal hasil SUN tenor 10 tahun terpantau pada level 6,76 persen pukul 12.29 WIB. Sejak awal tahun, yield SUN melesat 14,79 persen.

Adapun, yield SUN sempat menyentuh level tertingginya 6,79 persen pada 9 Maret 2021 dengan posisi terendah pernah mencapai 6,12 persen pada 3 Februari 2021.

“Dalam beberapa kesempatan, Bank Sentral AS sudah menyampaikan bahwa hal tersebut [tapering off] belum akan terjadi dan stance kebijakan moneter Bank Sentral AS masih akan akomodatif hingga indikator pemulihan ekonomi benar-benar solid,” jelas Faiz.

Dari dalam negeri, Faiz menilai tenaga perbankan masih ada untuk menyerap penawaran SUN namun tidak akan sekuat seperti 2020. Pasalnya, apabila pemulihan ekonomi terjadi pada semester II/2021 maka permintaan kredit bakal kembali bergeliat.

Selanjutnya permintaan kredit akan membentuk penciptaan uang di pasar dan mendorong tingkat Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan.

Faiz memperkirakan tahun ini perbankan hanya mampu menyerap sekitar Rp263 triliun dari total penerbitan SUN oleh pemerintah dengan syarat kredit tumbuh pada kisaran 4 persen - 5 persen dari 2019.

“Faktor selain permintaan kredit yang juga akan memengaruhi kapasitas perbankan untuk menyerap obligasi tahun ini adalah kebijakan makroprudensial dari Bank Indonesia yang tentunya akan memengaruhi likuiditas dalam sistem perbankan,” tutur Faiz.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper