Bisnis.com, JAKARTA - Bursa Asia membuka perdagangan Rabu (23/9/2020) dengan hasil variatif menyusul pernyataan dari bank sentral Amerika Serikat terkait pemulihan ekonomi yang berjalan lamban.
Dilansir dari Bloomberg, indeks S&P/ASX 200 Australia dibuka di zona hijau dengan kenaikan sebesar 0,6 persen. Pasar Korea Selatan juga dibuka menguat setelah indeks Kospi naik 0,8 persen.
Sementara itu, indeks Topix Jepang terkoreksi 0,5 persen setelah libur selama beberapa hari. Adapun indeks berjangka S&P 500 terpantau stagnan hingga pukul 09.02 waktu Tokyo, Jepang.
Sebelumnya, bursa AS melemah pada awal perdagangan Selasa karena Gubernur Federal Reserve Jerome Powell mengatakan masih ada jalan yang panjang bagi perekonomian sebelum pulih sepenuhnya, selain membutuhkan lebih banyak dukungan.
Sementara itu, Presiden The Fed wilayah Chicago Charles Evans mencatat bahwa suku bunga bisa naik sebelum target inflasi tercapai. Setelah penutupan perdagangan reguler, Nike Inc. melonjak karena produsen pakaian olahraga tersebut membukukan pendapatan yang jauh lebih baik daripada yang diperkirakan.
Namun, Wall Street mampu berbalik menguat di akhir perdagangan, didorong oleh sektor ritel dan teknologi yang menjadi pendorong terbesar. Indeks Dow Jones Industrial Average ditutup menguat 0,52 , sedangkan indeks S&P 500 menguat 1,05 persen dan Nasdaq naik 1,71 persen.
Bursa saham global masih menuju penurunan bulanan pertama sejak Maret karena kekhawatiran Kongres belum menyetujui paket stimulus fiskal lanjutan, sementara peningkatan kasus virus corona global telah meningkatkan kekhawatiran atas lebih banyaknya tindakan lockdown lebih lanjut.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengumumkan pembatasan baru yang kemungkinan akan berlangsung enam bulan dan mengatakan kepada orang-orang untuk bekerja dari rumah jika memungkinkan. Ia juga mengatakan mengatakan negara itu berada pada "titik balik yang berbahaya" untuk virus tersebut.
"Kondisi saat ini seperti roller coaster yang amat besar dan kita harus dapat bertahan karena kondisi volatilitas tinggi ini sepertinya akan berlanjut hingga pemilu presiden AS pada November mendatang," ujar President dan CEO Gibbs Wealth Management Erin Gibbs, seperti dikutip Bloomberg.