Bisnis.com, JAKARTA - Harga karet berjangka menuju kenaikan mingguan didukung penurunan produksi dan harapan pemulihan ekonomi yang akan mendorong permintaan.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Kamis (17/9/2020) harga karet TSR20 di bursa Singapura untuk kontrak pengiriman Desember 2020 berada di level US$1,37 per kilogram, terkoreksi 1,57 persen. Harga berbalik melemah setelah mengalami reli selama tiga hari perdagangan berturut-turut.
Adapun, sepanjang pekan ini harga karet telah bergerak naik hingga 3,1 persen. Harga juga sempat menyentuh level rekor US$1,43 per kilogram pada awal September 2020.
Sementara itu, harga karet RSS di bursa Jepang untuk kontrak pengiriman Februari 2021 parkir di level 185,6 yen per kilogram, naik 0,5 persen. Harga telah naik selama empat hari perdagangan berturut-turut sehingga sepanjang pekan ini berhasil terapresiasi hingga 5 persen.
Kepala Strategi Perdagangan dan Lindung Nilai Kaleesuwari Intercontinental Gnanasekar Thiagarajan mengatakan bahwa gangguan rantai pasokan akibat pandemi Covid-19 dan kenaikan harga minyak mentah dalam tiga bulan terakhir telah membantu sentimen bullish pada harga karet.
“Produksi karet terpengaruh di beberapa negara karena masalah keterbatasan tenaga kerja akibat pandemi Covid-19,” ujar Thiagarajan seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (17/9/2020).
Baca Juga
Senada, Asosiasi Negara Produsen Karet Alam mengatakan bahwa kekurangan penyadap terampil di beberapa bagian Thailand dan di seluruh Malaysia menjadi tantangan utama terhadap produksi karet global.
Belum lagi, penyakit daun jamur dan kasus pandemi Covid-19 antar pekerja di perkebunan dapat menghambat produksi.
Asosiasi itu memperkirakan produksi karet global pada tahun ini bakal turun hingga 4,9 persen dari tahun sebelumnya menjadi hanya sebanyak 13,1 juta ton.
Tidak hanya itu, produksi karet juga dibayangi oleh fenomena cuaca La Nina yang diprediksi terjadi pada kuartal akhir tahun ini.
Untuk diketahui, La Nina biasanya mempengaruhi berbagai komoditas pertanian, karena membawa curah hujan di atas rata-rata di Australia, terutama di wilayah timur, tengah dan utara, serta di Asia Tenggara dengan potensi banjir.
“Fenomena cuaca mengganggu produksi berbagai hasil pertanian, seperti kedelai, jagung, lobak, gula, kopi, dan karet,” kata Alvin Tai dari Bloomberg Intelligence.