Bisnis.com, JAKARTA — Manajer investasi memilih strategi defensif di tengah volatilitas pasar. Sektor perbankan, barang konsumsi, dan telekomunikasi pun jadi pilihan.
Direktur Riset dan Kepala Investasi Alternatif Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo mengatakan saham-saham dari sektor defensif menjadi buruan di tengah situasi yang tak pasti seperti saat ini.
Pasalnya, dia menilai hampir seluruh sektor terkena dampak pandemi sehingga penting untuk memilih sektor-sektor yang cenderung mampu bertahan di tengah pagebluk ini.
Salah satu sektor yang menjadi pilihan utama Soni adalah perbankan. Dia menyebut ekonomi di Indonesia masih sangat tergantung dengan perbankan sehingga saham-saham dari sektor ini pasti mampu bertahan.
“Bank saya suka. Kenapa? Karena Indonesia ini ekonomi kita tergantung sekali dengan bank, pembiayaan itu semua oleh bank. Semua likuiditas di ekonomi Indonesia itu berpusat pada bank. Jadi dimana ada uang di situ ada bank, makanya itu saya fokus di bank,” tutur dia kepada Bisnis baru-baru ini.
Sektor lain yang menjadi pilihan Soni adalah barang konsumsi, khususnya yang masuk dalam kategori consumer staple atau barang kebutuhan sehari-hari karenakarena perputaran bisnisnya langgeng dan pasti akan selalu dibutuhkan masyarakat.
Baca Juga
“Itu kan defensif ya, pilihan sahamnya juga banyak tergantung kita milihnya gimana,” imbuh Soni.
Kemudian, tak ketinggalan adalah sektor telekomunikasi. Soni menyebut sektor satu ini sangat prospektif, tak hanya selama pandemi melainkan di masa depan sebab saat ini orang telah bergantung kepada fasilitas telekomunikasi.
“Apalagi karena pandemi ini semua menggunakan video conference, tagihan pun yang membengkak adalah kebutuhan internet sementara kebutuhan-kebutuhan lain enyusut,” tuturnya.
Soni menambahkan, pada dasarnya di tengah kondisi ini manajer investasi tak memiliki banyak opsi untuk memilih aset dasar berbasis saham karena mayoritas emiten terdampak oleh pandemi.
“Di bursa itu ada 560 nama, cuma yang benar-benar bisa kita prospek, kita investasi itu hanya segelintir aja. Mungkin hanya sekitar 40-an, itu juga sudah maksimal sekali,” ungkapnya.
Menurutnya, kinerja para emiten yang terdampak juga menyulitkan indeks harga saham gabungan (IHSG) untuk bangkit dengan stabil. Walhasil, hingga saat ini IHSG masih sangat volatil.
Selain karena lesunya kinerja emiten, dia menilai IHSG saat ini masih rapuh karena belum ada katalis kuat yang mampu benar-benar mendorong indeks untuk bangkit.
“Jadi ya saya lihat bursa saham masih akan naik-turun, naik turun terus sampai ada suatu katalis yang kuat,” imbuh dia.