Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpukul Corona, Mirae Asset Proyeksikan Garuda Indonesia (GIAA) Rugi US$106,6 Juta Tahun Ini

Salah satu dampak jangka pendek yang akan sangat terasa oleh Garuda Indonesia adalah berkurangnya pendapatan karena pelarangan umrah dan kemungkinan ibadah haji.
Teknisi beraktivitas di dekat pesawat Boeing 737 Max 8 milik Garuda Indonesia, di Garuda Maintenance Facility AeroAsia, bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (13/3/2019)./Reuters-Willy Kurniawan
Teknisi beraktivitas di dekat pesawat Boeing 737 Max 8 milik Garuda Indonesia, di Garuda Maintenance Facility AeroAsia, bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (13/3/2019)./Reuters-Willy Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA – PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memproyeksikan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. membukukan rugi senilai US$106,6 juta pada tahun ini seiring dengan merambatnya dampak negatif dari penyebaran virus corona atau covid-19.

Dalam risetnya, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Lee Young Jun mengatakan pada mulanya pembatasan rute penerbangan karena penyebaran virus corona tidak terlalu berdampak terhadap perseroan karena rute yang ditutup bukanlah rute yang menguntungkan.

Namun, dengan peningkatan kasus positif virus corona di Indonesia, pemerintah kemudian menutup pintu masuk bagi WNA ke Indonesia. Hal ini diperkirakan akan berdampak cukup besar terhadap permintaan untuk beberapa bulan ke depan.

Dia memperkirakan kinerja rute penerbangan domestik maupun internasional akan tetap lemah sepanjang penyebaran virus ini masih meraja lela. Bahkan, jika wabah ini telah usai, permintaan di industri penerbangan diperkirakan masih rendah karena masyarakat masih berhati-hati untuk bepergian.

Salah satu dampak jangka pendek yang akan sangat terasa oleh Garuda Indonesia adalah berkurangnya pendapatan karena pelarangan umrah dan kemungkinan ibadah haji. Akan tetapi, di sisi lain, perseroan akan sedikit diuntungkan karena penurunan harga minyak dunia yang akan berdampak terhadap cost of good sold (COGS) perseroan.

Dampak penurunan aktivitas penerbangan sudah mulai terlihat dari utilisasi kapasitas rute penerbangan internasional yang hanya mencapai 50 persen—60 persen dari kapasitas yang dimiliki. Sementara itu, untuk penerbangan domestik, perseroan sudah menurunkan utilisasinya hingga 15 persen—20 persen.

Dengan proyeksi tersebut, Jun memperkirakan perseroan akan merugi sekitar US106,6 juta pada tahun ini. Proyeksi ini turun dari proyeksi sebelumnya, yakni laba US$128,4 juta.

Adapun, proyeksi laba pada 2021 diperkirakan akan mencapai US$119,9 juta. Meski begitu, proyeksi ini juga telah dipangkas dari ekespektasi sebelumnya yang senilai US$139,6 juta.

“Pada 2020 kami perkirakan GIAA akan mengalami rugi karena permintaan terhadap rute penerbangan domestik maupun internasional masih akan lemah sepanjang semester I/2020 dan berpotensi terus terjadi hingga kuartal III,” jelasnya dikutip dari riset, Kamis (2/4/2020).

Berdasarkan proyeksi kinerja itu, Mirae Aset Sekuritas Indonesia menurunkan rekomendasi menjadi hold untuk saham GIAA tersebut. Target harga diturunkan dari Rp690 per saham menjadi Rp195 per saham.

“Target harga kami didasarkan pada target kelipatan dari 0,5 kali price to book value (P/B). Risiko yang melatarbelakangi pandangan kami adalah dampak dari penyebaran virus corona dan proyeksi lemahnya pertumbuhan ekonomi global dan domestik,” katanya.

Pada kuartal IV/2019, perseroan membukukan rugi bersih senilai US$143 juta, sehingga total laba bersih 2019 hanya mencapai US$7 juta. Perolehan laba tersebut, meleset sekitar 10 persen dari proyeksi awal Mirae Asset Sekuritas Indonesia.

Jun menjelaskan target laba perseroan yang meleset dari perkiraan disebabkan oleh lemahnya pertumbuhan pendapatan, peningkatan belanja operasional, dan rugi selisih kurs yang mencapai senilai US$46,5 juta.

Rugi yang dibukukan pada kuartal IV/2019 lebih banyak disebabkan oleh persoalan di luar kendali perseroan. Meski begitu, dalam kondisi tersebut, perseroan telah melakukan upaya terbaik untuk menyiasati tantangan tersebut.

Hal ini terlihat dari jumlah penumpang yang meningkat sekitar 5,7 persen secara kuartalan. Available seat kilometers (ASK) dan revenue passenger kilometers (RPK) juga meningkat masing-masing 6,9 persen dan 7,9 persen.

Di sisi lain harga rata-rata bahan bakar relatif stabil di angka US$59,2/liter. Adapun, jumlah bahan bakar yang digunakan naik sekitar 6,5 persen secara kuartalan. Peningkatan ini sejalan dengan pertumbuhan ASK dan RPK.

Di saat yang bersamaan, rata-rata seat lod factor (SLF) dan cargo load factor (CLF) mengalami peningkatan masing-masing 0,8 persen dan 7,2 persen. Sementara itu, yield penumpang menurun 7,8 persen dan yield kargo meningkat 8,5 persen.

Secara umum, lanjutnya, data operasional sedikit menunjukkan spektrum negatif. Di sisi lain, penurunan laba bersih pada kuartal IV/2020 juga lebih dalam dari yang diperlihatkan data operasional.

Dia menuturkan rendahnya pertumbuhan pendapatan pada kuartal terakhir 2019 lebih banyak didorong oleh pendapatan lain-lain ketimbang pendapatan inti.

Adapun, pada penutupan perdagangan hari ini, Kamis (2/4/2020), saham GIAA menguat 0,55 persen atau 1 poin ke level Rp183 per saham dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp4,76 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper