Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang penutupan 2019, reli tembaga semakin mantap dengan logam merah tersebut membukukan reli terpanjang sejak pertengahan 2018 di tengah optimisme pulihnya permintaan China dan sinyal kemajuan dalam pembicaraan perdagangan AS-China.
Seperti yang diketahui, sejak dimulainya perang dagang antara AS dan China pada tahun lalu, harga logam yang digunakan dalam konstruksi dan listrik tersebut mengalami tekanan akibat prospek permintaan yang melemah. Sepanjang 2018, tembaga bergerak melemah 17,21 persen.
Pun, tembaga hampir menutup 2019 dengan kinerja yang buruk, berada di zona merah. Namun, reli yang terjadi dalam beberapa perdagangan terakhir cukup kuat sehingga berhasil membalikkan arah tembaga dan membuat logam itu berada di jalur penguatan sepanjang tahun berjalan ini.
Berdasarkan data Bloomberg, pada penutupan perdagangan Rabu (11/12/2019), harga tembaga di bursa London menyentuh level tertingginya hampir lima bulan di level US$6.156 per ton, menguat 0,92 persen. Adapun, secara year to date tembaga telah bergerak menguat 3,2 persen.
Analis Saxo Bank Ole Hansen mengatakan bahwa harapan AS akan menunda pengenaan tarif perdagangan lebih banyak untuk barang China sehingga mencerahkan prospek permintaan logam.
Mengutip sumber Reuters, meskipun keputusan akhir belum dibuat, Pemerintah AS telah meletakkan dasar untuk penundaan putaran tarif terbaru yang akan jatuh tempo pada 15 Desember.
Selain itu, alasan lain dari melambung tingginya harga tembaga adalah laporan tentang peningkatan permintaan China yang didukung oleh data ekonomi yang menunjukkan pemulihan dan dikombinasikan dengan risiko bahwa kerusuhan sosial di produsen utama tembaga dapat menambah kekurangan pasokan pada 2020.
“Harga terus naik lebih tinggi. Gambaran teknis untuk tembaga telah meningkat secara signifikan selama sepekan terakhir,” ujar Oleh seperti dikutip dari Reuters, Kamis (12/12/2019).
Dia mengatakan bahwa dukungan teknis dan psikologis utama untuk tembaga saat ini berada pada US$6.000 per ton. Namun, dia menilai yang harus diperhatikan selanjutnya apakah prospek itu telah cukup membaik untuk melihat kembalinya posisi long atau beli spekulatif bagi tembaga.
Di sisi lain, analis Morgan Stanley Susan Bates mengatakan bahwa hampir semua logam diperkirakan mengalami pemulihan permintaan pada tahun depan karena kesepakatan perdagangan parsial menanamkan kepercayaan untuk mengisi kembali rantai pasokan kosong.
Namun, defisit pasokan tembaga akan membantu logam tersebut mengungguli sebagian besar komoditas mineral lainnya pada tahun depan. Defisit global akan meningkat menjadi 340.000 ton tahun depan dibandingkan dengan defisit sebesar 60.000 ton tahun ini.
“Tembaga diposisikan terbaik di antara enam logam dasar untuk mendapatkan keuntungan mengingat pertumbuhan pasokan yang lebih moderat dibandingkan dengan logam lainnya,” ujar Susan seperti dikutip dari Bloomberg.
Dia memprediksi harga tembaga menyentuh US$6.272 per ton pada 2020 dan US$6.338 per ton pada 2021.
Sementara itu, perusahaan keuangan Jefferies LLC menaikkan perkiraan harga tembaga untuk pertama kalinya dalam hampir satu tahun, mengutip permintaan terpendam di pasar properti China dan potensi pemulihan dalam manufaktur global.
Sebagai informasi, tidak hanya China, indeks aktivitas pabrik yang lebih baik untuk periode November, juga terjadi di sebagian besar ekonomi Asia termasuk Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia sehingga mendorong Indeks Manajer Pembelian mereka lebih tinggi.
Di Eropa, bacaan Jerman datang lebih kuat dari perkiraan semula, yaitu naik untuk bulan kedua. Berita itu pun berhasil mengangkat ekuitas, dengan Stoxx Europe 600 naik 0,4 persen setelah kenaikan sebelumnya di seluruh Asia.
Angka tersebut pun melanjutkan narasi yang memperlihatkan bahwa di seluruh benua dalam beberapa pekan terakhir menunjukkan ekonomi yang mulai pulih dari penurunan dan bergerak stabil.