Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penguatan Harga Nikel akan Dorong INCO Menuju Rp4.300

Permintaan nikel jangka panjang dari luar negeri diperkirakan berasal dari program One Belt One Road (OBOR) yang diinisiasi China dan pengembangan kendaraan listrik.
Articulated dump truck mengangkut material pada pengerukan lapisan atas di pertambangan nikel PT. Vale Indonesia di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Kamis (28/3/2019)./ANTARA-Basri Marzuki
Articulated dump truck mengangkut material pada pengerukan lapisan atas di pertambangan nikel PT. Vale Indonesia di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Kamis (28/3/2019)./ANTARA-Basri Marzuki

Bisnis.com, JAKARTA — Sektor tambang dinilai analis masih overweight pada tahun depan, khususnya tambang logam, seiring dengan potensi penguatan harga nikel dan emas.

Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan menjelaskan dalam riset terbarunya yang dipublikasikan lewat Bloomberg, aksi rebalancing China bakal menjadi potensi upside untuk harga nikel global dari sisi penawaran.

Sementara dari sisi permintaan, larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia mulai tahun depan yang akan menjadi upside risk-nya.

“Kami kurang optimisits Filipina dapat menutupi ekspor global bijih nikel Indonesia mengingat cadangan nikel Filipina hanya mencapai 4,8 juta ton pada 2018, jauh di bawah Indonesia sebanyak 21 juta ton,” tulis Andy, seperti dikutip pada Kamis (28/11/2019).

Lebih lanjut, permintaan nikel jangka panjang dari luar negeri diperkirakan berasal dari program One Belt One Road (OBOR) yang diinisiasi China dan pengembangan kendaraan listrik.

Kendati sejuh ini belum ada data resmi mengenai kebutuhan stainless stell yang dibutuhkan program OBOR, inisiasi Presiden China Xi Jinping tersebut dinilai akan mendorong permintaan stailness stell khususnya untuk pembangunan rel kereta.

Sebagai tambahan, kebutuhan nikel global diperkirakan mencapai 167 ribu ton jika tingkat penetrasi kendaraan listrik mencapai 6 persen dari penjualan kendaraan global. Bahkan, kebutuhan nikel global bisa mencapai 400 ribu ton jika tingkat penetrasi melebihi 10 persen dari total penjualan kendaraan global.

Dengan pertimbangan asumsi kenaikan harga nikel global, Mirae Asset Sekuritas merevisi naik target harga saham emiten pertambangan PT Vale Indonesia Tbk yang memiliki ticker INCO.

INCO direkomendasikan beli dengan target harga Rp4.225. Adapun, metode valuasi yang digunakan adalah EV/EBITDA yang dapat merefleksikan fair value milik INCO.

Saat ini, INCO diperdagangkan pada 6,4 kali dan 7,5 kali dari EV/EBITDA pada 2020 dan 2021.

Bersamaan dengan asumsi harga nikel yang lebih baik pada 2020, perkiraan pendapatan INCOpada 2020 dan 2021 juga dinaikkan masing-masing sebesar 17,9 persen dan 17,2 persen menjadi US$954 juta dan US$1 miliar.

Sementara laba diperkirakan mencapai US$114 juta dan US$144 juta pada 2020 dan 2021.

“Kami yakin INCO akan diuntungkan oleh perkiraan harga nikel global yang lebih tinggi ke depannya mengingat perseroan adalah pemain yang memproduksi nikel paling murni,” tulis Andy.

Adapun INCO memiliki rata-rata kadar bijih nikel tingkat pertama sebesar 1,79 persen, lebih tinggi dari kompetitor globalnya yang hanya memiliki rata-rata sebesar 1,58 persen.

Tak hanya memproduksi bijih nikel premium, INCO juga memproduksi nickel matte yang memiliki kadar nikel sebesar 78 persen. Andy mencatat bahwa cadangan bijih nikel dan posisi sebagai satu-satunya produsen nikel matte di Indonesia telah menjadi kelebihan bagi INCO.

Sementara itu Analis Panin Sekuritas Juan Oktavianus juga ikut menaikkan target harga INCOmenjadi Rp4.300 setelah merevisi naik perkiraan kinerja INCO pada tahun depan.

Adapun dengan adanya percepatan larangan ekspor bijih nikel dari Indonesia pada 2022 menjadi 2020, diperkirakan penurunan ekspor nikel di dunia akan berdampak pada penurunan persediaan nikel global. Dengan demikian, perkiraan rerata harga global untuk komoditas nikel pada tahun depan menjadi US$15.500.

Sementara itu, harga rerata nikel INCO diperkirakan senilai US$12.090 pada 2020 sehingga perseroan diharapkan dapat membukukan laba bersih senilai US$115 juta

“Oleh karenanya, kami masih merekomendasikan buy dan menaikkan target harga ke Rp4.300 [sebelumnya Rp3.300] berdasarkan metodologi valuasi FCFE dengan cost of equity 11,6 persen,” tulis Oktavianus.

Pada akhir perdagangan sesi I Kamis (28/11/2019), INCO parkir di zona merah dengan pelemahan 2,22 persen menjadi Rp3.090 dengan kapitalisasi pasar Rp30,70 triliun. Sejak awal tahun INCO masih turun 5,21 persen tetapi sejak 6 bulan terakhir telah naik 18,85 persen.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper