Bisnis.com, JAKARTA — Pascapenurunan suku bunga, para manajer investasi makin giat mengoptimalkan underlying asset produk reksa dana pendapatan tetap.
Hal itu dilakukan supaya produk reksa dana yang beraset dasar obligasi ini tidak kalah menarik dengan produk investasi lain yang turut mendapat berkah dari era suku bunga rendah.
Berdasarkan data Infovesta Utama, secara year-to-date (ytd) per 20 September 2019, indeks reksa pendapatan tetap mencetak kinerja terbaik sebesar 7,1 persen dibandingkan indeks reksa dana lainnya. Bahkan, pencapaian tersebut melampaui kinerja indeks acuannya, yang sebesar 6,27 persen.
Selanjutnya, kinerja indeks reksa dana campuran tercatat 3,04 persen dan kinerja indeks reksa dana pasar uang sebesar 4,21 persen.
Berada di posisi terbawah, reksa dana saham tercatat berkinerja sebesar -7,05 persen, satu-satunya yang berada di zona merah kendati Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbuh 0,6 persen ytd.
Direktur Utama PT BNI Asset Management Reita Farianti menyampaikan pihaknya menyesuaikan strategi penyusunan portofolio reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi pemerintah dengan outlook makroekonomi global dan domestik.
Baca Juga
"Durasi dari portfolio juga disesuaikan dengan kondisi ekonomi serta outlook secara global," katanya kepada Bisnis, Senin (23/9/2019).
Sementara itu, untuk reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi, BNI Asset Management melakukan pemilihan surat utang berdasarkan kualitas dari penerbit, juga didasarkan oleh kinerja keuangan dan rating yang baik.
BNI Asset Management memiliki produk reksa dana pendapatan tetap dengan basis obligasi pemerintah dan korporasi. Untuk obligasi pemerintah, lanjut Reita, dipilih tenor yang cenderung lebih panjang dibandingkan obligasi korporasi.
Dengan demikian, investor dapat menyesuaikan dengan time horizon dan risk profile investasinya masing-masing.
Sementara itu, Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menjelaskan saat ini, pihaknya fokus pada valuasi dari obligasi itu sendiri. Obligasi pemerintah bertenor panjang pun menjadi pilihan untuk dijadikan aset dasar beberapa produk reksa dana pendapatan tetap yang dibesutnya.
“Saat ini, kami melihat valuasi SUN di Indonesia masih murah. Jadi, kami memaksimalkannya dengan cara memperpanjang tenor,” ujarnya.
Sebagian besar instrumen obligasi yang dipilih adalah Surat Utang Negara (SUN) bertenor 10 tahun ke atas. Rudi menerangkan pemilihan instrumen surat utang pemerintah lebih disebabkan oleh pertimbangan likuiditas.
Pasalnya, obligasi korporasi dinilai relatif kurang likuid walaupun pergerakannya lebih stabil. Dikhawatirkan, ketika terjadi penarikan atau redemption dalam jumlah besar, manajer investasi akan kesulitan menjualnya di pasar sekunder.
Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich mengungkapkan dalam kondisi pelonggaran moneter secara global, pihaknya menyediakan portofolio Surat Berharga Negara (SBN) untuk inestor yang menginginkan risiko kredit rendah dan potensi capital gain.
“Dan [kami] melakukan manajemen durasi aktif untuk mengoptimalkan capital gain tersebut,” ucapnya.
Selain itu, portofolio yang berisi surat utang korporasi juga dibuatkan untuk investor yang ingin ada pembagian hasil investasi bulanan dengan net yield bagi hasil sebesar 8 persen pada tahun ini. Avrist Asset Management pun menggunakan strategi dengan menukar yield obligasi korporasi yang sudah rendah dengan yield korporasi lain yang masih tinggi untuk menjaga performa produk.