Bisnis.com, JAKARTA - Tembaga melonjak ke level tertingginya pada perdagangan Kamis (12/9/2019), seiring dengan ketegangan dagang AS dan China mereda sehingga meningkatkan harapan perang dagang akan usah dan menjadi pertanda baik untuk permintaan logam.
Analis Commerzbank Daniel Briesemann mengatakan bahwa sentimen dari pelaku pasar sedikit lebih baik karena berita sengketa perdagangan antara AS dan China melonggarkan masing-masing kebijakan tarif impornya untuk menjamin terjadinya negosiasi dagang yang akan berlangsung pada awal Oktober.
Pemerintah AS sepakat untuk menunda pengenaan tarif sebesar 5% pada impor China selama dua minggu, sedangkan China mengizinkan perusahaannya untuk melanjutkan pembelian produk pertanian AS.
“Namun, kami telah melihat beberapa tanda pelonggaran dalam sengketa perdagangan pada beberapa kesempatan sebelumnya dan harapan ini selalu mengecewakan sehingga penguatan mungkin hanya berumur pendek," ujar Daniel seperti dikutip dari Reuters, Kamis (12/9/2019).
Seperti yang diketahui, dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah mengenakan tarif barang senilai ratusan miliar dolar AS dalam perang perdagangan yang pahit sehingga telah membangkitkan sentimen adanya resesi global. Apalagi, jika tarif lebih lanjut dijadwalkan akan berlaku dalam beberapa bulan mendatang.
Tembaga, logam yang digunakan dalam tenaga dan konstruksi, dipandang sebagai penentu arah untuk kesehatan ekonomi global dan telah menderita di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih lemah.
Pelemahan tersebut juga termasuk terkontraksinya permintaan dan konsumsi logam China, sebagai negara konsumen logam terbesar di dunia.
Pada perdagangan Kamis (12/9/2019) hingga pukul 19.22 WIB, harga tembaga di bursa London bergerak menguat 1,29% menjadi US$5.855,25 per ton. Pada pertengahan perdagangan, tembaga sempat mencapai level tertinggi sejak 1 Agustus di US$5.898 per ton.
Adapun, sepanjang tahun berjalan 2019 tembaga telah bergerak terkontraksi 3,23%.