Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham terpukul pada perdagangan Jumat (2/8/2019) karena investor lari mencari aset safe-haven setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan ia akan mengenakan tarif 10 persen pada sisa barang impor China yang nilainya mencapai US$300 miliar mulai 1 September.
Indeks MSCI Asia Pacific di luar Jepang turun 1,6 persen ke level terendah sejak pertengahan Juni sementara Nikkei 225 dan Topix Jepang jatuh masing-masing 2,11 persen dan 2,16 persen.
Saham China juga terpukul keras, dengan indeks Shanghai Composite dan CSI300 masing-masing turun 1,41 persen dan 1,47 persen, sementara indeks Hang Seng Hong Kong merosot 2,35 persen.
Pengumuman Trump, yang datang sehari setelah juru runding AS dan China mengakhiri pertemuan di Shanghai tanpa tanda-tanda kemajuan yang signifikan, menandai berakhirnya gencatan senjata dalam perang perdagangan sejak Juli dan dapat mengganggu rantai pasokan global.
"Setelah pertemuan AS-China, orang-orang berharap akan ada ketenangan untuk beberapa waktu," kata Masahiro Ichikawa, analis senior di Sumitomo Mitsui DS Asset Management, seperti dikutip Reuters.
"Pasar juga lega dengan tanda-tanda pemulihan di sektor semi-konduktor. Tapi sekarang investor dan perusahaan harus merevisi skenario mereka," lanjutnya.
Baca Juga
Sementara itu, indeks Taiex Taiwan yang tech-tech turun 1,7 persen dan Kospi Korea Selatan kehilangan 0,95 persen ke level terendah dalam tujuh bulan, setelah Jepang menyetujui rencana untuk menghapus Seoul dari daftar mitra dagang tepercaya, yang dikenal sebagai "daftar putih."
Media pemerintah China dengan cepat mengecam tarif baru Trump, dengan pemimpin redaksi Global Times mengatakan bahwa kesepakatan perdagangan antara AS dan China justru berjalan makin jauh.
Sementara itu, pemerintah China menegaskan tidak gentar dan akan melakukan tindak balasan jika Amerika Serikat (AS) bertekad menetapkan lebih banyak tarif untuk barang-barang asal China.
“China tidak menginginkan perang dagang, tetapi juga tidak takut untuk berperang,” tegas Hua Chunying, juru bicara kementerian luar negeri China dalam suatu briefing pers, seperti dilansir dari Reuters.