Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang pemilihan perdana menteri Inggris, pergerakan pound sterling terlihat semakin terombang-ambing pada perdagangan Selasa (23/7/2019) dan masih dalam tekanan bearish.
Sebagai informasi, pada Selasa waktu setempat, Inggris akan melakukan pemilihan kandidat sebagai ketua Partai Konservatif, partai pemenang pemilu Inggris, sekaligus perdana menteri untuk menggantikan Theresa May yang mengundurkan diri pada Juni lalu.
Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan bahwa pelemahan pound sterling diakibatkan oleh kekhawatiran pasar terpilihnya Boris Johnson menjadi perdana menteri Inggris menggantikan Theresa May.
“Boris adalah kandidat terkuat, pendukung hard Brexit. Beliau lebih memilih agar Inggris segera keluar dari Uni Eropa dengan atau tanpa kesepakatan,” ujar Ariston kepada Bisnis, Selasa (23/7/2019).
Dia mengatakan, pound sterling saat ini berpotensi menuju level supportnya di US$1,238 per pound sterling. Namun, jika Jeremy Hunt yang terpilih menjadi PM Inggris, Ariston mengatakan bahwa pound sterling berpotensi menguat sementara dengan level resisten di US$1,2560 per pound sterling.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (23/7/2019) hingga pukul 14.50 WIB, pound sterling bergerak melemah 0,26 persen menjadi US$1,2443 per pound sterling.
Pound sterling memperpanjang penurunan sepanjang pekan lalu, menjelang penutupan surat suara pemilihan Ketua Partai Konservatif.
Adapun, pemungutan suara pemilihan kepemimpinan Tory ditutup pada Senin (22/7) pukul 5 sore waktu London, dengan hasil yang diumumkan pada Selasa (23/7) pagi dan pemenang akan langsung menjabat pada Rabu (24/7).
SANGAT RENTAN
Mengutip Bloomberg, pound sterling saat ini sangat rentan terhadap pelemahan lebih lanjut, tidak peduli siapapun yang akan menggantikan Theresa May.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Inggris Philip Hammond dan Menteri Keadilan Inggris David Gauke mengatakan akan mengundurkan diri jika Boris Johnson terpilih menjadi perdana menteri Inggris.
Ahli Strategi Nomura International Jordan Rochester mengatakan bahwa no-deal Brexit adalah risiko terbesar bagi ekonomi Inggris dan tentu saja akan membuat pound sterling diproyeksi mencetak posisi terendah terbaru.
“Kendati demikian, kami tidak mengharapkan pasar untuk menetapkan premi Brexit yang lebih tinggi daripada sebelumnya sampai Parlemen kembali setelah liburan musim panas pada September mendatang,” ujar Jordan seperti dikutip dari Bloomberg.
Kurangnya kejelasan terkait dengan Brexit yang berkelanjutan mampu membawa pound sterling diprediksi bergerak di bawah US$1,2 per pound sterling atau bahkan berpotensi mendekati US$1,1 per pound sterling.
Namun, di tengah banyaknya sentimen negatif terhadap pemilihan perdana menteri Inggris, terdapat optimisme di pasar bahwa perdana menteri baru mungkin akan memperoleh kesepakatan dari Uni Eropa yang gagal didapatkan oleh Theresa May.
Skenario tersebut dapat membawa pound sterling bergerak di atas US$1,3 hingga US$1,4 per pound sterling.
PENGUATAN DOLAR
Sementara itu, Perusahaan keuangan Morgan Stanley mengatakan bahwa kekhawatiran pasar terkait dengan pendekatan hard-Brexit yang diadopsi oleh Boris Johnson dan Jeremy Hunt berisiko mendorong pound sterling turun dari level saat ini US$1,24 ke level terendah sejak pertengahan 1980.
“Pound telah berada di bawah tekanan jual yang kuat sejak Perdana Menteri May menarik diri dari posisi kepemimpinan partainya, meninggalkan pasar dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa Inggris mungkin menuju hard Brexit,” tulis Morgan Stanley dalam risetnya seperti dikutip dari Bloomberg.
Selain itu, pelemahan pound sterling di pasar mata uang saat ini juga diperburuk oleh penguatan dolar AS akibat berkurangnya ekspektasi pasar bahwa The Fed tidak akan memangkas suku bunga acuan begitu agresif pada akhir bulan ini.
Tercatat, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor lainya bergerak menguat 0,18 persen menjadi 97,435.