Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah masih bergerak terdepresiasi pada perdagangan Selasa (14/5/2019) setelah China membalas kenaikan tarif impor oleh AS, menghilangkan daya tarik aset investasi berisiko termasuk rupiah.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (14/5/2019) pukul 13.55 WIB, rupiah terpantau masih bergerak di zona merah, melemah 0,221% menjadi Rp14.455 per dolar AS. Rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terlemah di antara mata uang Asia lainnya.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa perlawanan China dengan menaikkan tarif sudah cukup baik, tetapi belum sepadan dengan bea impor yang diterapkan AS.
Pemerintah China mengumumkan rencana untuk menetapkan tarif impor atas produk Amerika Serikat senilai US$60 miliar pada Senin (13/5/2019) dan akan mulai menetapkan tarif impor baru terhadap 5.140 produk AS pada 1 Juni 2019.
Kebijakan tersebut untuk membalas AS yang telah lebih dulu menaikkan tarif impor 25% untuk barang-barang China senilai US$200 miliar. "Akibat hal tersebut, rupiah masih akan bergerak fluktuatif dan mengarah kepada pelemahan," ujar Ibrahim kepada Bisnis.com, Selasa (14/5/2019).
Adapun, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa hasil negosiasi dagang akan diumumkan 3 hingga 4 minggu mendatang dan menambah ketidakpastian pasar.
Baca Juga
Sementara itu, mengutip riset harian Asia Trade Point Futures, saat ini situasi pasar sangat tidak mendukung dan kurang bersahabat bagi rupiah. "Investor pasar keuangan khususnya pasar mata uang lebih memilih instrumen safe haven seperti Yen, Swiss Franc dan emas untuk berlindung," tulis Asia Trade Point Futures seperti dikutip dalam risetnya.
Selanjutnya, fokus pasar akan tertuju pada rilis neraca perdagangan Indonesia periode April yang dijadwalkan dirilis pada Rabu pekan ini.