Bisnis.com, JAKARTA -- MNC Sekuritas memperkirakan harga Surat Utang Negara (SUN) masih akan bergerak bervariasi pada perdagangan Jumat (15/3/2019), dengan masih berpeluang mengalami penurunan didorong oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Kepala Divisi Riset Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra mengatakan para pelaku pasar pesimistis jelang dirilisnya neraca perdagangan Indonesia Februari 2019 yang masih berpotensi mengalami defisit. Hal ini berdampak kepada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Dengan harga SUN yang masih berpeluang untuk mengalami penurunan, terutama pada SUN jangka menengah dan panjang, maka kami menyarankan kepada investor untuk mencermati pergerakan harga SUN dengan fokus kepada pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS," paparnya dalam riset harian, Jumat (15/3).
Beberapa seri SUN yang perlu dicermati adalah FR0059, FR0071, FR0058, FR0073, FR0068, FR0072, dan FR0075.
Pada perdagangan Kamis (14/3), harga SUN naik terbatas di tengah fluktuatifnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta adanya sentimen faktor domestik dan eksternal. Perubahan harga mencapai 88 bps dengan rata-rata kenaikan 18 bps, yang mendorong adanya perubahan tingkat imbal hasil hingga 8,5 bps.
Untuk SUN seri acuan, semua serinya mengalami kenaikan harga antara 13-42 bps, yang mengakibatkan adanya penurunan tingkat imbal hasil hingga 4,4 bps.
Adapun perubahan kenaikan harga terbesar didapati pada SUN seri acuan bertenor 20 tahun sebesar 42 bps, yang mendorong turunnya imbal hasil sebesar 4,4 bps ke level 8,271%. Untuk SUN bertenor 15 tahun, ditutup dengan mengalami kenaikan harga sebesar 23 bps yang mengakibatkan penurunan yield sebesar 27 bps ke level 8,215%.
Untuk SUN seri acuan bertenor 10 tahun, ditutup dengan mengalami kenaikan harga sebesar 19 bps, yang menyebabkan imbal hasil turun 2,7 bps ke level 7,805%.
Adapun SUN seri acuan bertenor 5 tahun mengalami kenaikan harga terkecil, yaknis 13 bps, yang berdampak terhadap penurunan imbal hasil sebesar 3,1 bps ke level 7,389%.
Perubahan harga ini terjadi di tengah fluktuatifnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pergerakan rupiah ini dipengaruhi faktor eksternal, di mana dolar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang regional.
Hal ini membuat para investor lebih tertarik kepada dolar AS. Namun, faktor domestik juga masih menjadi pilihan pertimbangan para investor karena kondisi fundamental Indonesia yang tetap terjaga.
Kenaikan harga SUN juga mulai terbatas, yang terindikasi dari volume perdagangan kemarin yang menurun dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya. Di samping itu, jelang dirilisnya neraca perdagangan Indonesia pada hari ini, para investor memilih mengambil aksi wait and see.
Perubahan harga pada perdagangan SUN berdenominasi dolar AS bergerak bervariasi di tengah tingkat imbal hasil US Treasury yang mengalami pelemahan. Seri INDO24 mengalami kenaikan harga 9,3 bps, yang berdampak kepada penurunan imbal hasil sebesar 2 bps ke level 3,645%.
Selanjutnya, seri INDO29 dan INDO49 mengalami penurunan harga masing-masing 9,7 bps dan 11,5 bps. Hal ini mengakibatkan terjadinya kenaikan imbal hasil sebesar 1,2 bps ke level 4,142% dan 0,7 bps ke level 4,885%.
Adapun harga seri INDO44 bergerak naik sebesar 0,5 bps, sehingga berdampak kepada penurunan imbal hasil yang terbatas di level 4,976%.
Volume perdagangan SUN yang dilaporkan pada perdagangan Kamis (14/3), mengalami penurunan dibandingkan dengan volume perdagangan sebelumnya, yaitu senilai Rp14,38 triliun dari 42 seri yang diperdagangkan.
SUN seri FR0078 menjadi SUN dengan volume perdagangan terbesar, yakni senilai Rp3,71 triliun dari 113 kali transaksi. Diikuti Obligasi Negara seri FR0068, dengan nilai Rp1,99 triliun dari 89 kali transaksi.
Sementara itu, untuk perdagangan Sukuk Negara, Project Based Sukuk seri PBS014 menjadi Sukuk Negara dengan volume terbesar, yaitu sebesar Rp385,84 miliar dari 28 kali transaksi. Diiringi Project Based Sukuk seri PBS013 dan PBS016, masing-masing sebesar Rp204,75 miliar untuk 9 kali transaksi dan Rp100 miliar dari 1 kali transaksi.
Volume perdagangan obligasi korporasi dilaporkan lebih kecil daripada volume perdagangan sebelumnya, yaitu senilai Rp661,37 miliar dari 31 seri obligasi korporasi yang ditransaksikan.
Obligasi Berkelanjutan III Indosat Tahap I Tahun 2019 Seri A (ISAT03ACN1) menjadi obligasi korporasi dengan volume perdagangan terbesar, senilai Rp206 miliar dari 4 kali transaksi. Diikuti Obligasi Berkelanjutan Indonesia Eximbank II Tahap V Tahun 2015 Seri (BEXI02CCN5), dengan nilai Rp130 miliar dari 4 kali transaksi.
Pada perdagangan kemarin, rupiah terkoreksi 13 pts (0,09%) ke level Rp14.278 per dolar AS. Pelemahan ini terjadi seiring dengan melemahnya mata uang regional terhadap dolar AS.
Mata uang regional yang mengalami pelemahan tertinggi adalah yen Jepang (JPY) sebesar 0,38%, diikuti baht Thailand (THB) yang mengalami koreksi 0,37%. Dolar Singapura (SGD) juga melemah 0,3% terhadap dolar AS.
Sebaliknya, rupee India (INR) dan dolar Taiwan (TWD) mengalami penguatan, masing-masing sebesar 0,27% dan 0,04%.
Di sisi lain, imbal hasil US Treasury dengan tenor 10 tahun mengalami pelemahan sehingga berada di level 2,62%. US Treasury bertenor 30 tahun juga mengalami pelemahan dan berada di level 3,04%.
Pelemahan yield US Treasury ini terjadi di tengah kondisi pasar saham AS yang ditutup dengan mengalami perubahan arah yang bervariasi. Indeks NASDAQ ditutup melemah terbatas 16 bps ke level 7630,91, sedangkan indeks DJIA menguat 3 bps ke level 25709,94.
Sementara itu, pasar obligasi Inggris (Gilt) dengan tenor 10 tahun ditutup naik ke level 1,22%. Namun, Gilt bertenor 30 tahun mengalami penurunan ke level 1,73%.
Adapun obligasi Jerman (Bund) bertenor 10 tahun dan 30 tahun sama-sama mengalami penurunan terbatas, masing-masing ke level 0,082% dan 0,742%.