Bisnis.com, JAKARTA – Logam industri tembaga dan nikel berjangka melanjutkan pelemahan harga di tengah kekhawatiran yang masih berlanjut terkait dengan outlook perekonomian China.
Sejumlah investor masih berpandangan skeptis terhadap permintaan dari negara konsumen tembaga terbesar di dunia, China. Soalnya, Presiden Xi Jin Ping berjanji akan menawarkan dukungan untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi di tengah perang dagang dengan Amerika Serikat.
Pemerintah China berencana untuk memberikan dana sebesar 10 miliar yuan atau US$1,4 miliar untuk mengamankan penjualan obligasinya. Keputusan tersebut mengikuti langkah-langkah lainnya yang diumumkan pada Senin (22/10).
Selain itu, dolar AS, meski indeksnya merosot, masih diperdagangkan mendekati level tertinggi selama dua bulan pada posisi 95,98.
Analis Marex Spectron Alastair Munro mengatakan bahwa meskipun akan ada perbaikan likuiditas di sejumlah perusahaan, dari sisi makro masih menunjukkan pelemahan karena terdampak oleh kemerosotan ekuitas AS dan penguatan dolar AS.
“Keberlanjutan reli pada minat risiko belum bisa diprediksi hingga 2018,” ujarnya, dilansir dari Bloomberg, Rabu (24/10/2018).
Wu Xiangfeng, analis Huatai Futures menyebutkan bahwa banyaknya kekacauan dari sisi makro masih menjadi penyebab kenaikan sentimen negatif dari investor pada logam merah itu beserta logam industri lainnya.
Pada Rabu (24/10), harga tembaga memerah 46 poin atau 0,74% menjadi US%6.196 per ton dan turun 14,50% secara year-to-date (ytd). Adapun, harga nikel juga merosot parah ke US$12.375 per ton, turun 155 poin atau 1,24% dari perdagangan hari sebelumnya dan turun 3,02% selama 2018 berjalan.
Kemudian, pada logam industri lainnya yang juga mengalami penurunan harga, aluminium, tercatat turun 6 poin atau 0,39% menjadi US$2.001 per ton dan turun11,77% sepanjang 2018.